SELAMAT HARI JADI SALATIGA KE-1260 "ÇRÎR=ASTU SWASTI PRAJÂBHYAH"

Senin, 26 Juli 2010

OPINI : VOL. 04/03/2010

Menjadi Kota Residensial Tanpa Menghapus Kenangan Tempoe Doeloe

Bulan Juli ini Kota Salatiga memasuki usia ke-1.260 tahun. Dibandingkan dengan kota-kota lainnya di Indonesia, boleh dikatakan Salatiga masuk dalam jajaran kota tertua dan sangat uzur. Penetapan Salatiga berdiri pada 1.260 tahun lalu tersebut, berdasarkan hasil penelitian sejumlah pakar sejarah, yang kemudian ditetapkan berdasarkan surat keputusan Walikota.

Muncul pertanyaan dalam benak kita, apakah dalam usia tersebut perkembangan kota telah memasuki tahap modern dibandingkan dengan kota-kota lainnya? Lalu apakah perkembangan dinamika kehidupan bermasyarakat dan pembangunan yang telah dilaksanakan dalam usia uzur itu, telah memberikan kesejahtaraan bagi warganya? Serta pertanyaan-pertayaan lainnya, yang berkaitan dengan kesejahteraan warga kota.

Memulai tulisan ini, saya langsung teringat ketika berdiskusi dengan seorang teman yang juga senior, beberapa waktu lalu. Tergambar Salatiga ke depan, tidak akan beda dengan kota-kota di sekitar Jakarta, seperti Tangerang, Bekasi, Bogor, dan lainnya. Kota Salatiga dan wilayah sekitarnya akan menjadi kota residensial. Ya, sebagai kota tempat tinggal, di mana masyarakatnya bekerja dan berusaha di Kota Semarang atau Solo. Dengan akses jalur tol yang akan melintas di Salatiga, maka perjalanan Salatiga-Semarang-Solo tidak akan lebih dari 30 menit. Berbeda dengan prediksi orang sebelumnya, bahwa Salatiga akan menjadi kota mati akibat jalan tol. Kendaraan yang biasa lewat di kota itu beralih lewat jalan tol.

Sebagai kota residensial, daerah ini akan dipenuhi komplek pemukiman penduduk. Namun jangan kaget, dengan konsep tersebut justru akan menumbuhkan perekonomian. Karena pemerintah dan masyarakat harus memenuhi kebutuhan warga residensial itu. Kebutuhan itu seperti pasar, pusat perbelanjaan, rumah makan, pusat kuliner rakyat, sarana hiburan, pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi), kesehatan (rumah sakit), fasilitas publik, dan fasilitas lainnya. Itu sejalan bila melihat kondisi Salatiga yang tidak lagi memiliki sumber daya alam, yang dapat dijual. Sehingga hanya dapat berkembang dengan logika bisnis, yakni penyediaan perdagangan dan jasa.

Residensial, memberikan kesempatan siapa saja menciptakan dan mengembangkan semua kebutuhan masyarakat itu. Tentunya para kreator itu, tidak harus pemodal besar, masyarakat bermodal kecil pun, tetap dapat memulainya. Mereka dapat menciptakan pusat-pusat jajanan tradisional, hiburan bagi masyarakat residensial, dan kreasi lainnya yang menguntungkan. Jangan khawatir enting-enting gepuk, wedang ronde, keripik paru, getuk ketek dan getuk lainnya, serta jajanan khas lainnya, tetap akan diburu.

Itulah potensi ekonomi yang mungkin dapat dikembangkan. Apabila dikelola dengan baik, akan menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD). PAD itu harus dikelola dengan baik, sebagai sarana menghidupkan perekonomian lainnya. Apakah konsep residensial itu dapat diterima atau tidak? Jangan kaget, bila nantinya konsep ini dipakai para investor untuk memulai bisnisnya. Wilayah kabupaten tetangga, terlihat sudah memulainya.

Kenangan Lalu
Terkait perkembangan dan pembangunan di Kota Salatiga, tidak tepat rasanya bila kita menilai kota ini berdasarkan catatan kekurangan dan kelebihan diri sendiri (warga kota). Alangkah bijaknya bila orang luar yang menilai, atau setidaknya orang Salatiga yang kini tidak lagi tinggal di kota ini, tetapi masih kerap pulang kampung mengenang masa lalu.

Pertengahan Mei 2010 lalu, penulis menjumpai keluarga besar Roy Marthen, yang mudik pulang kampung melakukan pertemuan keluarga. Roy bersama tiga saudaranya Chris Salam, Eric, dan Rony, berdiskusi tidak lepas dari perkembangan Kota Salatiga saat ini. Mereka mengaku benar-benar merasakan perubahan Salatiga dalam beberapa kurun waktu ini.

Roy mengungkapkan perubahan yang terlihat nyata adalah penerapan jalur searah Jalan Jenderal Sudirman. Diakuinya itu merupakan penataan yang sangat baik. Tetapi dia memberikan masukan soal perubahaan tata parkir dan penataan PKL, agar lebih indah. Serta jalan yang dibuat lebih mulus lagi.

Chris justru mengungkapkan, pembangunan tidak hanya fisiknya saja, namun juga dilihat kondisi psikis masyarakat. Apakah hidup masyarakat sekarang lebih enak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya? Rakyat punya pekerjaan atau tidak? Mereka dapat hidup layak atau tidak? Menurutnya, pemerintah harus melihat beberapa sisi, salah satunya sisi kehidupan riil masyarakat itu. Siapa saja pemimpin atau Wali Kota Kota Salatiga harus mampu melihat langsung kondisi riil kehidupan dasar rakyatnya.

Bila kebutuhan dasar masyarakat dipenuhi, maka sudah pasti taraf hidup akan meningkat. Chris mengibaratkan percuma pembangunan dilakukan muluk-muluk, sementara pembangunan moril rakyat tidak dipikirkan. Terlontar ucapan dari pengacara itu, percuma membangun mal dan pasar yang besar, tetapi tidak ada masyarakat yang berbelanja, karena tidak punya pekerjaan dan uang.

Terlepas, permasalahan itu, terungkap banyak warga Salatiga di perantauan yang rindu dengan Salatiga tempoe doeloe yang diibaratkan Paris van Java. Salatiga dikenang karena memiliki bangunan tua peninggalan Belanda. Hawa kota yang terkenal sejuk, pohon-pohon yang rindang, berbagai pilihan kuliner (jajanan) yang memanjakan lidah, serta kenangan-kenangan lainnya.

Pembangunan tidak harus berarti menghilangkan kesan-kesan ciri khas Salatiga kota kuno yang indah. Kita dapat mencontoh pembangunan yang terjadi di beberapa kota yang memiliki ciri tidak berbeda dengan Salatiga, seperti Kota Bandung atau Kota Magelang. Orang datang dan ingin berkunjung ke tempat itu, karena ada daya tarik kenangan lalu yang ingin dinikmati kembali. (-)

*)Penulis adalah Wartawan Harian
Suara Merdeka bertugas di Kota Salatiga
dan sekitarnya.

Selasa, 20 Juli 2010

Laporan Utama I: VOL. 04/03/2010


Laporan Utama : Salatiga Ditetapkan Sebagai Daerah Otonom


Perkem-bangan keraja-an Mataram Hindu yang berpusat di Medang ri Poh Pitu menimbulkan keprihatinan raja Sanjaya. Di samping perkem-bangan kehidupan spiritual pemeluk agama Hindu dan Budha yang menggembirakan, masalah bencana alam yang selalu ditimbulkan oleh gunung-gunung berapi akhirnya dibetulkan "team pencari daerah baru" yang bebas bencana.


Team ini dipimpin oleh salah satu putra raja yang berkedudukan sebagai Rakryan Mahamantri I Halu dibantu oleh beberapa pejabat tingkat pusat yang membidangi pemerintahan, upapatti (pejabat yang memimpin upacara penetapan simal wilayah, ahli sastra, pertahanan, pertanian, rsi/ tokoh agama dan seniman pembuat candi.


Sasaran wilayah yang dituju adalah sebelah timur garis UMM (Gunung Ungaran, Gunung. Merbabu, dan Gunung. Merapi). Team peneliti akhirnya memutuskan bahwa wilayah tersebut tidak memenuhi syarat bila dijadikan pusat pemerintahan/ kraton, dengan alasan tanah berbukit kurang cocok untuk pertanian, tidak ada sungai besar sehingga kurang menguntungkan pertahanan. Dan akhirnya team memutuskan wilayah tersebut sangat cocok untuk kepentingan agama. Dalam prasasti Plumpungan wilayah sebelah timur UMM disahkan sebagai sebuah perdikan disebut "hampragraman trigramya mahitam.*


Prof. DR. Raden Ngabehi Poerbotjaroko (ahli Bahasa Jawa Kuno) menjelaskan bahwa kata: 1. hampra merupakan daerah yang banyak ditumbuhi pohon bamboo; 2. trigramya = trigostya = trisaba = /rif a/a. Sesuai dengan kaidah tatabahasa Indonesia, maka kata trisala,= Qalatri = Salatiga. Kapan perdikan Salatiga tersebut diresmikan? Pada prasasti Plumpungan peresmian perdikan Trisala tertulis: Cakakalatita 672/4/31, Sukrawara maddhyaham //0//” Prof DR. Louse-Charles Damais dalam buku Etudes D'Epigraphie Indonesienne yang pernah dipublikasikan oleh D 'WF. Stutterheim (Direktur Kantor Archeologi Hindia Belanda) menghitung ke tahun Masehi menjadi: ”Hari Jumat tengah hari, tanggal 24 Juli, tahun 750 Masehi”


Sedangkan masalah pendidikan khususnya di Kota Salatiga, mulai dari zaman Pro Hindu/Budha dan zaman Hindu//Budha memiliki tahapan-tahapan khusus. Pada zaman Pro Hindu/Budha; Sebelum masuknya budaya Hindu-Budha ke Indonesia, peran seorang dukun dan undhagi sangat penting peranannya dalam pendidikan. Kedudukan seorang dukun yang mampu berhubungan dengan roh nenek moyang dan seorang undhagi yang pandai membuat peralatan/ senjata sangat dihormati dalam masyarakat. Kedudukan mereka bahkan disejajarkan dengan kepala suku, panutan dan guru. Kelompok dukun dan undhagi mendidik masyarakat secara langsung dalam kehidupan sehari-hari.


Zaman Hindu–Budha; Berdasarkan penemuan-penemuan situs kepurbakalaan yang tersebar di beberapa wilayah khususnya di Jawa Tengah menunjukkan bahwa kedudukan dukun dan undhagi telah digeser oleh peran seorang brahmana. Dalam naskah Kitab Sarasamuccaya 61:4 tertulis kalimat "ri sedeng nira n brahmacari, gurukulawesi kinenan sira diksabrata sangskarta" (Ketika ia sedang menjadi murid/ brahmacari, tinggal di rumah guru/ kulawesi, mereka disebut cantrik/diksabrata sangskarta). Murid/ brahmacari tinggal bersama guru di suatu asrama/ pertapaan. Kegiatan belajar mengajar tidak terbatas waktunya. Murid/ cantrik selain berkewajiban belajar, ia harus membantu gurunya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Selama mengikuti pendidikan/ nyantrik di pertapaan seorang murid/ sisya wajib memahami 2 (dua) macam aturan, yaitu: a) Siksa sisyakrama, yaitu berisi tentang aturan bagaimana tingkah laku seorang murid/ sisya; b) Gurususrusa, yaitu mengatur tentang bagaimana seharusnya berbakti kepada guru.


Sedangkan tugas seorang guru/ brahmana meliputi berbagai tugas dan kewajiban, antara lain: : a) Mangajya, yaitu memberi pelajaran berbagai Umum pengetahuan; b) Mayadjna, yaitu membimbing siswa/ sisya tentang peraturan membuat persajian dalam upacara tertentu; c) Mawehadana punya pengetahuan tentang pemberian sedekah, air kehidupan/ amrta, serta amaraha/menegur.


Ketiga mata pelajaran tersebut diatas dilakukan oleh guru beserta pembantu-pembantunya. "Sang brahmacarin, sang bhujangga siswa sogata, sakweh sang angulah l.ts kapandiditan (Kitab Slokantara 14:15).".

Jaman Hindu-Budha pendidikan hanya mengenal 4 (empat) tingkatan yaitu : a) Tahapan Brahmacari, nyantrik di pertapaan; b) Tahapan grhastha, pendidikan ke rumah-tanggaan; c) Tahapan wanaprastha, pendidikan untuk hidup menyendiri di hutan; d) Tahapan Bhiksuka, melatih mensucikan diri dan menjauhkan dari kehidupan duniawi.


Jaman Hindu-Budha sarana prasarana dan kurikulum pendidikan di perdikan digambarkan dalam Kitab Sutasoma karya Empu Tantular Tak Tertandingi 4:19 sebagai berikut:

Tahapan nyantrik; Tempat berlangsungnya proses pendidikan/ belajar mengajar disebut dengan istilah widyagocaraateupatapan. Widyagocara ini dikelilingi dengan berbagai pepohonan, berpagar, memiliki gapura serta terdapat pohon beringin yang rindah yang dipergunakan sebagai . tempat cantrik/ brahmacari/ sisya bermain. Patapan/ widyagora juga dilengkapi dengan berbagai bangunan yang disebut patani jamurl berbentuk jamur yang dipergunakan untuk belajar menari dan membaca kidung.


Tahapan grhastha; Dalam bab 38:15, proses belajar mengajar tahapan pendidikan grhastha disebut dengan istilah hadewaguryan yaitu suatu tempat yang terletak di kaki gunung, jauh terpencil di tengah hutan dan dihuni oleh keluarga dwija dan wanita-wanita suci. Lebih lanjut digambarkan bahwa kadewagurwan biasanya dekat dengan sungai besar, memiliki gapura yang menjulang tinggi, berwarna putih bersih dan temboknya dibuat dari tanah berbentuk lingkaran. Kadewagurwan selalu ditumbuhi oleh pohon tanjung, cempaka, bana dan nagakusuma yang selalu mengeluarkan bau harum.


Tahapan wanaprastha; Dalam kitab Negarakertagama karya Empu Prapanca (32:2a) dijelaskan secararinci tentang tempat berlangsungnya proses belajar mengajar untuk tingkatan wanaprastha. Tempat ini dipergunakan oleh para brahmana untuk melatih olah batin sekaligus dipergunakan sebagai tempat tinggal seorang rsi. Wanasrama dipimpin oleh dewaguru yang disebut siddhapandita/ yang disebut sang muniswaral sang mahrsi. Digambarkan lebih lanjut bahwa wanasrama biasanya terletak di tengah hutan lebat dan di tepi jurang yang dalam. Sedangkan bagi murid diatur berdasarkan tingkat kemampuan dan jenis kelamin. Tempat wanasrama diatur secara bertingkat dengan tempat paling tinggi dipergunakan sebagai tempat tinggal sang maharsi/ dewaguru.


Bagian di bawahnya ditempati oleh kelompok pendeta laki-laki yang diatur sesuai dengan tingkat kemampuan, yaitu tingkat manguyu, tapaswi, dan kaki. Pendeta-pendeta perempuan dipisahkan antara kelompok ubwan, topi dan endang. Materi kurikulum yang diberikan oleh sang maharsi antara lain tentang kebenaran/ yathabhuta, tingkah laku/ siksa sisyakrama, nilai-nilai kebajikan/astitisilakrama. Bakti kepada guru/ guru susrusa, helakuan terpuji/ susilasthiti serta, pelajaran memahami kesusastraan/ wruh ing kawi.

Tahapan bhiksuka; Pendidikan tingkat bhiksuka ini hanya diperuntukkan bagi lulusan tingkat wanaprastha yang berani meninggalkan keluarga dan keduniawian, hidup menyendiri di tengah hutan.


Demikianlah tinjauan Drs. Slamet Rahardjo yang menunjukkan kepada kita bahwa semasa berstatus Perdikan hampragraman trigramya, kehidupan masyarakat telah mengenal pendidikan dengan baik, teratur, terstruktur, toleransi serta terarah. Tujuan kehidupan masyarakat dalam pembangunan di segala bidang diarahkan dengan sesanthi yang ditinggalkan, yaitu: "Crir astu, swasti prajabbyah" Semoga bahagia, selamatlah rakyat sekalian.(Drs. Slamet Rahardjo)

Laporan Utama II : VOL. 04/03/2010


Laporan Utama : Perjalanan Sejarah Perdikan Salatiga


Salatiga harus merasa beruntung karena memiliki banyak sekali peninggalan kuno yang dapat dipergunakan merunut perjalanan sejarah daerah-daerahnya, Peninggalan-peninggalan kuno beraneka ragam bentuknya dan sebagian besar masih dapat dijumpai di Kota Salatiga dan sekitamya, meskipun tidak lengkap/ rusak bahkan hilang. Bentuk peninggalan-peninggalan kuno yang diketemukan di Salatiga ada yang berupa prasasti, monumen, patung, candi, artefak dan bangunan kuno. Hasil penelahan secara analistis/ teoritis dapat diketahui sejarah perjalanan panjang daerah tersebut.


Berdasarkan tinjauan Drs. Slamet Rahardjo, pada pertengahan abad ke 17 daerah perdikan Salatiga muncul dalam berita perjalanan utusan VOC ke Mataram Kartosuro yang bernama Van Goens. Berita tersebut kemudian diikuti route perjalanan Kapten Francois Tack pada tanggal 4 Februari 1686 yang harus lewat menyisiri Rawapening, Banyu Putih, Tingkir agar sampai ke Mataram Kartosuro untuk melaksanakan tugas memadamkan pemberontakan Untung Suropati (De Graaf 1989:54-55). Sedangkan perjalanan sejarah perdikan Salatiga sejak diresmikan dan hampir 900 tahun tidak terdeteksi kegiatan dan perkembangannya.


Timbul pertanyaan dalam hati kita : "Kegiatan-kegiatan apakah yang dilakukan oleh daerah perdikan Salatiga selama itu?" Sesuai dengan tugas dan fungsi sebuah perdikan yang dibebaskan dari segala tanggung jawab terhadap pusat pemerintahan di Mataram Hindu, maka pengaturan kehidupan ditentukan oleh masyarakat setempat yang meliputi Bidang Politik Pemerintahan, Ekonomi, maupun Sosial Budaya.


Bidang Politik Pemerintahan

Pusat pemerintahan perdikan dipimpin oleh Kepala Desa yang disebut Tuha wanua. Pejabat tuhawanua biasanya dipilih dari warga tertua yang dihormati. Dalam menjalankan tugas sehari-hari seorang tuhawanua dibantu oleh beberapa orang Rama Magnan yang mempunyai hak untuk mengeluarkan perintah kegiatan masyarakat. Dalam prasasti-prasasti yang diketemukan semasa pemerintahan Rakai Kayuwangi dan Rakai Watukura disebutkan bahwa tiap-tiap daerah pemerintahan terdapat kurang lebih 30 (tigapuluh) orang jabatan Rama Magnan.


Lebih lanjut diutarakan bahwa setiap Rama Magnan di suatu desa dibantu oleh kelompok-kelompok masyarakat yang terdiri dari Kelompok Rainanta, yang terdiri dari orang tua dan ibu-ibu; Kelompok Kara dan Wereh-wereh, yang terdiri muda-mudi; dan kelompok Wadwa Rarai yaitu kelompok anak-anak. (Prof. DR. Edi Sedyawati 1993:28-30)


Bidang Ekonomi

Prasasti-prasasti kuno selalu berisi tentang pendirian bangunan suci dan penetapan suatu daerah sebagai simbul perdikan, dan keduanya selalu dikaitkan dengan kehidupan keagamaan. Namun sesungguhnya kedua isi prasasti tersebut di atas juga sekaligus mencerminkan orientasi ekonomi.

Wilayah Jawa Tengah sejak abad ke 7 hingga pertengahan abad ke 10 ditandai oleh aktivitas yang luar biasa dalam pembangunan monumen-monumen keagamaan baik yang bersifat Hindu maupun Buddha. Pembangunan monumen keagamaan di atas dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok (Soekmono 1979:475-8).


Pembangunan sejumlah besar arsitektur monumental dalam waktu relatif singkat di daerah tersebut tentu membutuhkan tenaga kerja yang luar biasa banyak serta biaya tinggi. Waktu pembuatanpun relatif lama, sehingga tugas penggarapan sawah tertinggalkan. Kehidupan masyarakat pertanda tidak mungkin mendukung untuk pembangunan monumen-monumen raksasa, sehingga sangat memungkinkan usaha-usaha mencari daerah baru di sebelah timur garis UMM karena kehancuran ekonomi, selain bencana alam. "The final conclusion, then, is that central Javanese royalculture was destroyed by its own temples " (Schrieke 1957:301).


Pejabat-pejabat pemerintahan perdikanpun dipusatkan pada kehidupan keagamaan, sedangkan ekonomi dilakukan oleh masyarakat bawah/ kelompok tani. Lebih-lebih perdikan Salatiga tidak terletak di pantai, sehingga perdagangan dan pelayaran sulit untuk dilakukan.


Berita Negarakertagama secara implisit menggambarkan bahwa kelompok pedagang asing tidak diperkenankan untuk tinggal di pusat kerajaan/ pemerintahan tetapi harus di luar dan terutama di daerah pelabuhan, sehingga sistem barter sulit dilakukan pedagang lokal (Pigeud 1960, naskah 198).


Bidang Sosial Budaya

Bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa penguasa Mataram Hindu berasal dari eksodan-eksodan dari Hindia karena terjadi penyerangan bangsa Aria. Tidak mustahil bila terbukti hampir sebagian besar peninggalan-peninggalan arkeologis di Jawa Tengah dipengaruhi oleh budaya Amarawati India Selatan dan budaya Gandhara India Utara. Budaya bawaan dari Hindia di atas mendominasi pola kehidupan sosial budaya masyarakat perdikan Salatiga, yang meliputi keagamaan dan pendidikan.


Sesuai amanat penentuan misi perdikan Salatiga demi perkembangan kehidupan keagamaan, maka tidak mengherankan bila rekam jejak kehidupan masyarakat perdikan dipusatkan untuk keperluan tersebut. Di wilayah perdikan banyak diketemukan berbagai bentuk peninggalan kuno, diantaranya:

Bangunan Lingga-Yoni; Sistem pemujaan terhadap dewa dalam agama Hindu dapat berupa candi, patung, dewa, patung kendaraan, artefak ataupun bangunan yang disebut Lingga-Yoni. Pemujaan terhadap Lingga-Yoni sebagai bentuk lain pemujaan terhadap Dewa Siwa/ lambang kesuburan. Lingga-Yoni merupakan lambang kesatuan antara purusa dan paerity. Dan perlu untuk diketahui bahwa istilah purusa berarti : wong lanang/ pelanangan, kuwasa, kekendelan. Sedangkan paerity bermakna : wong wadon, nrima/ lembah manah. Sangat disayangkan bahwa bangunan kuno yang diketemukan telah kehilangan lingga dan tinggal yoni/ lumpang batu. Hilangnya lingga dapat dimaknai bahwa kita telah kehilangan kejantanan/ keberanian/ selalu ragu-ragu. Dan salah satu yoni yang diketemukan di perdikan Salatiga adalah tidak berbentuk lumpang batu tetapi berbentuk bunga padma/teratai. Pada hal bunga teratai merupakan simbol agama Buddha. (S. Prawiroatmodjo, 1987:398).


Patung Andhini; Patung Andhini / lembu jantan merupakan wahana/ kendaraan Dewa Ciwa. Pemujaan terhadap Andhini sebagai bentuk lain pemujaan terhadap Dewa Ciwa.

Candhi; Di wilayah perdikan Salatiga sebelah timur UMM, masih diketemukan 2 (dua) buah bangunan candi, yaitu: Candi Ngempon dan Petirtaan Bergas Karangjati serta Candi Lumpang di sebelah timur Klero Tengaran. Bahkan ada dugaan bila masih banyak candi yang belum diketemukan atau telah rusak. Hal ini bisa terjadi bila dihubungkan dengan keberadaan tempat/ desa yang bernama Kemiri Candi, Candi Gesi, Candhen,


Artefak Kaki Bima; Imaginasi masyarakat umum membayangkan bahwa Sang Bima/ Werkudara memiliki tapak kaki besar. Pada hal peninggalan kuno yang berbentuk artefak kaki merupakan penyembahan kepada Dewa Wisnu/ Penyelamat dunia. Tahun 1961 penulis masih menemukan 3 (tiga) buah artefak kaki Bina di pemandian Kalitaman, Gundhuk Bugel dan di desa Randhu Acir Kecamatan Argomulyo. Namun dari ke tiga artefak tersebut tinggal sebuah yang berada di Randu Acir, sedangkan sisanya sudah dihancurkan demi pembangunan.


Artefak Kaki Bima yang di Randu Acir sudah ditimbun tanah dan dijadikan sawah. Alasan yang dipakai karena dipergunakan oleh pecandu buntutan dari berbagai daerah untuk mendapatkan nomor jitu.

Patung Hamsa/Angsa; Dalam mitologi agama Hindu, patung Angsa merupakan ganti persembahan kepada Dewa Brahma. Patung ini sampai tahun 1975 masih terletak di sebelah barat SPG Kristen Ledok Tegalrejo.


Prasasti Tajuk Getasan Kopeng; Prasasti ini diketemukan oleh Ki Adi Samidil Mantan Kasi Kebudayaan Salatiga, Bp. Tri Purnoto / seniman dibantu oleh Bpk. Gunadi Lurah Cebongan Tingkir almarhum pada tahun 1976. Benda-benda lain kecuali prasasti adalah daun lontar dan patung kelamin pria dan wanita sebagai lambang kesuburan. Patung ini merupakan patung vulgar dari Lingga-Yoni. (Bandingkan dengan bentuk di Candhi Sukuh Kabupaten Karanganyar).


Berdasarkan pembacaan yang dilakukan oleh Prof. DR. Buchari prasasti menunjukkan dibuat abad ke 9. Sedangkan isinya tentang kehidupan masyarakat Hindu. Benda-benda ini pernah dipamerkan pada Dies Natalis UKSW tahun 1977. Benda-benda penting tersebut sudah diamankan oleh BP3 Pusat di Jakarta. Peninggalan di atas di samping sebagai sarana peribadatan, ternyata memiliki nilai seni yang tinggi. Ketelitian proporsi bentuk, kerumitan dan keindahan bangunan tidak mungkin dikerjakan secara sembarangan. Seniman yang ditugasi pasti paham/ menguasai kaidah-kaidah benda yang dibangun/ dikerjakan dan memiliki sense of art tinggi. Keahlian membuat patung dan Bong Cina di Blotongan Salatiga kemungkinan memiliki bakat keturunan dari seniman patung/ pembuat candi jaman dahulu.(Drs. Slamet Rahardjo)

Laporan Utama III : VOL. 04/03/2010


Laporan Utama : Perlu Dilestarikan Aset dan Warisan Luhur Budaya


Salatiga merupakan kota yang termasuk sebagai salah satu Kota Pusaka di Indonesia. Sebuah kota yang memiliki aset dan warisan luhur budaya yang harus tetap dilestarikan. Sebagai wujud keseriusan pemerintah dalam melestarikan warisan luhur tersebut maka pada tahun 2008 yang lalu telah dibentuk Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) . JKPI merupakan suatu organisasi di antara pemerintah kota dan atau pemerintah kabupaten yang mempunyai keanekaragaman pusaka alam dan atau pusaka budaya (tangible dan intangible), yang bertujuan untuk bersama-sama melestarikan pusaka alam dan pusaka budaya sebagai modal dasar untuk membangun ke masa depan.


Berkaitan dengan hal tersebut maka berikut adalah petikan wawancara reporter Majalah Hati Beriman dengan Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, Budaya dan Pariwisata Kota Salatiga Drs. Cholil As'ad.


Apa yang dimaksud dengan Kota Pusaka?

Kota pusaka adalah sebuah kota yang memiliki pusaka, dalam hal ini pusaka tersebut terdiri atas pusaka alam, pusaka budaya ragawi dan pusaka budaya tak ragawi. Gabungan dari ketiga jenis pusaka tersebut kemudian dinamakan saujana. Termasuk dalam pusaka alam di Kota Salatiga yaitu suasana alam yang dapat dinikmati oleh makhluk hidup.yang lebih lanjut dapat diartikan sebagai keindahan panorama, maupun kesejukan udara di Salatiga. Pemandangan yang indah dari Gunung Merbabu dan Merapi serta udara yang sejuk merupakan pusaka alam bagi Kota Salatiga sehingga harus dijaga kelestariannya Hal ini menuntut pengaturan terhadap keberadaan gedung-gedung bertingkat di Salatiga jangan sampai keberadaan gedung tersebut dapat menghilangkan kenikmatan warga menyaksikan keindahan alam disekitarnya.

Mengenai pusaka ragawi termasuk dalam jenis pusaka ini yaitu bangunan candi, istana, bangunan kecil yang bersejarah, dan pemukiman tradisional. Untuk Kota Salatiga maka keberadaan benda cagar budaya merupakan salah satu pusaka ragawi yang harus dijaga kelestariannya. Kemudian yang termasuk sebagai pusaka tak ragawi adalah meliputi tradisi, kearifan lokal, bahasa, sastra, musik tradisional, tari, teater, seni kriya, seni beladiri, olah raga, pengobatan tradisional, dan juga kuliner.


Sejak kapan istilah Kota pusaka ini digulirkan?

Sejak dibentuknya JKPI pada Oktober 2008 istilah Kota Pusaka ini resmi digunakan, pada waktu itu peresmian JKPI dilakukan di Kota Solo oleh Menteri Budaya dan Pariwisata Jero Wacik. Pada awal terbentuknya JKPI telah memiliki 12 kota yang terdaftar sebagai anggota, dan seiring berjalannya waktu hingga saat ini kurang lebih 32 kota telah terdaftar sebagai anggota JKPI termasuk Kota Salatiga. Dan menjadi kebanggaan Kota Salatiga bahwa Walikota Salatiga termasuk salah sebagai satu pengurus dari JKPI tersebut. Hal ini menunjukkan keseriusan dari Kota Salatiga untuk kedepan menjaga dan melestarikan pusaka yang dimiliki oleh Salatiga.


Apa yang mendasari perlunya diangkat tentang keberadaan Kota Pusaka ini?

Keberadaan pusaka tersebut menuntut kewajiban dari semua pihak untuk menjaga dan melestarikannya sehingga kekayaan alam dan budaya tersebut tidak hilang begitu saja. Generasi penerus bangsa inipun perlu dan memiliki hak untuk menikmati pusaka-pusaka tersebut. Namun selain itu tidak dipungkiri bahwa proses pembangunan harus terus dilaksanakan, keadaan seperti ini menuntut adanya keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian pusaka. Untuk itu perlu mencari jalan terbaik dalam rangka melestarikan aset warisan budaya ketika melaksanakan pembangunan pengembangan kota. Sebagai misal apabila dilaksanakan pembangunan mall yang menggusur bangunan bersejarah, maka hal tersebut tidak benar karena akan menghilangkan identitas bangsa. Namun jika mempertahankan bangunan warisan lalu mengabaikan pengembangan kota, juga tidak dibenarkan karena pemerintah harus menciptakan lapangan kerja demi kesejahteraan warga.

Dalam kondisi seperti itu maka perlu dicarikan suatu solusi pembangunan kota yang mempedulikan aset budaya. Misalnya, bangunan warisan kuno tetap dipertahankan berada di tengah bangunan modern yang dibangun. Bangunan kuno tersebut tetap dipertahankan bentuk fisiknya dan bisa difungsikan misalnya sebagai perpustakaan.

Cara seperti ini nantinya akan sangat membantu generasi penerus dalam melacak sejarah bangsanya sendiri. Mereka akan menghargai generasi pendahulunya sebagai orang tua yang mampu menghargai warisan budaya tapi tanpa menghambat pembangunan.


Apa yang menjadikan sebuah kota dapat disebut sebagai kota pusaka?

Apabila sebuah kota merasa memiliki ketiga jenis pusaka yaitu pusaka alam, pusaka ragawi dan pusaka tak ragawi dan kemudian mendaftarkan diri kepada JKPI, maka kota tersebut telah menjadi sebuah kota pusaka. Sehingga apabila ada sebuah kota yang sebenarnya memiliki pusaka-pusaka tersebut namun tidak mendaftar pada JKPI maka belum dapat disebut sebagai kota pusaka.


Bagaimana Pemerintah Kota Salatiga menyikapi termasuknya kota ini sebagai salah satu Kota Pusaka?

Sejak sebelum digulirkannya tentang kota pusaka ini Pemerintah Kota Salatiga telah mengambil sikap terhadap keberadaan pusaka di kota ini. Kebijakan tentang gedung-gedung bertingkat yang cukup tinggi sebenarnya telah diatur, selain itu pemerintah juga telah mengidentifikasi bangunan cagar budaya yang ada di Kota Salatiga dan berbagai upaya untuk pelestariannya sehingga benda bersejarah tersebut tidak akan musnah begitu saja.

Pemerintah juga tidak memungkiri memang telah banyak benda-benda bersejarah yang telah hilang, hal tersebut memang sangat disayangkan. Untuk itu dalam waktu dekat akan dibuat perda tentang BCB untuk melindungi BCB yang masih ada. Untuk mempertahankan kesejukan yang dirasa telah sedikit meninggalkan Salatiga Pemerintah telah mengupayakan penghijauan diberbagai wilayah agar kesejukan Kota Salatiga dapat terwujud kembali.


Mungkinkah sebuah kota kehilangan statusnya sebagai sebuah kota pusaka?

Hal tersebut mungkin saja terjadi, apabila sebuah kota telah kehilangan pusaka yang dimiliki maka otomatis sudah tidak layak untuk disebut sebagai kota pusaka.

Jika kondisi tersebut terjadi tentunya merupakan keadaan yang sangat memprihatinkan, karena hilangnya status sebagai kota pusaka menunjukkan ketidaakmampuan kota yang bersangkutan dalam menjaga pusaka yang dimiliki. Sekaligus menjadi bukti tidak adanya itikad dari pemerintah yang bersangkutan untuk mempertahankan aset dan warisan budaya leluhurnya.


Apa upaya yang dilakukan untuk mempertahankan predikat kota pusaka ini?

Dalam hal ini manajemen resiko bencana merupakan salah satu upaya untuk melestarikan pusaka, menyelamatkan pusaka dan meningkatkan kondisi pusaka agar dapat bertahan untuk waktu yang lebih panjang. Prinsip-prinsip manajemen resiko bencana akan diterapkan dalam upaya mempertahankan pusaka Salatiga. Prinsip – prinsip tersebut meliputi perencanaan, kesiapsiagaan, dokumentasi yang jelas, program pemeliharaan, keterlibatan masyarakat dan prioritas tindakan. Selain itu mencegah kerusakan, memelihara merupakan gaya hidup yang dapat dilakukan oleh siapa saja, tua muda bahkan anak-anak sekalipun.

Sehingga diharapkan masyarakat dapat berperan lebih aktif dalam melestarikan pusaka Salatiga. Selain itu sekolah merupakan media penting untuk sejak dini mengenalkan, memahami keragaman, makna dan fungsi pusaka dalam kehidupan. Melalui pendidikan diharapkan generasi mendatang akan lebih mengenal, menyayangi, melestarikan dan bertanggung jawab untuk mewariskan pusaka kepada generasi berikutnya. Pemerintah Kota Salatiga sendiri dalam waktu dekat akan menerbitkan Perda yang mengatur tentang pelestarian dan pengelolaan pusaka yang dimiliki Kota Salatiga.


Apa saja yang berpotensi menjadi kendala dalam mempertahankan Kota Salatiga sebagai kota pusaka?

Terkait dengan pelestarian BCB yang ada Pemerintah Kota Salatiga belum mampu memberikan pendanaan untuk pemeliharaan BCB yang ada di Salatiga kecuali BCB yang saat ini telah menjadi milik pemerintah kurang lebih sejumlah 12 bangunan tua termasuk didalamnya bangunan sekolah.

Sedangkan untuk BCB yang menjadi milik masyarakat pemerintah mengatur agar pembangunan yang mungkin dilakukan tidak merusak dari BCB yang ada. UU no 5 tahun 1992 telah mengatur keberadaan BCB ini dan disisi lain sebagai warga negara yang baik sudah seharusnya masyarakat mentaati undang-undang yang masih berlaku tersebut.


Apa harapan dari pemerintah dengan dijadikannya Salatiga sebagai kota pusaka?

Dengan masuknya Kota Salatiga sebagai salah satu kota pusaka maka hal tersebut dapat mempertahankan sejarah dari Kota Salatiga, sebagaimana telah diketahui bahwa sejarah menunjukkan bahwa Kota Salatiga memiliki peran yang sangat penting dari waktu ke waktu.

Dengan menyadari bahwa kota ini merupakan sebuah kota penting menjadikan motivasi bagi pemerintah dan masyarakat untuk mencintai, memelihara, melestarikan serta membangunnya sehingga dapat mengarah kepada tercapainya keindahan, kenyamanan dan layak menjadi sebuah kota yang dapat dibanggakan.

Meskipun beberapa BCB telah hilang namun dalam upaya melestarikan pusaka Kota Salatiga tidak mengenal istilah terlambat, masih banyak tonggak-tonggak sejarah yang harus diselamatkan dan diuri-uri. Nantinya setelah BCB yang ada diidentifikasi akan dipasang pada tiap BCB tersebut semacam papan informasi yang memberikan penjelasan mengenai sejarah dari BCB tersebut mulai dari pembangunannya hingga saat terakhir kondisi BCB tersebut.

Namun selain dari itu, yang paling utama pemerintah sangat mengharapkan dukungan dari semua pihak agar pusaka Kota Salatiga tercinta dapat dipertahankan dan dilestarikan sehingga dapat dinikmati pula oleh generasi penerus selanjutnya.(HB_9)

Senin, 03 Mei 2010

OPINI DAN LAPORAN UTAMA Edisi 2 Th. 2010

OPINI
Memaknai Pembatalan UU BHP
Oleh: Priyo Suprobo*)


Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dimaknai secara berbeda-beda.
Konsep BHP ternyata ada sejak tahun 1950-an.
Dalam dokumen koleksi Arsip Nasional tentang pembentukan BHP tahun 1953, dinyatakan BHP adalah pilihan keberadaan universitas,
bukan kemutlakan (Agus Suwignyo, 2006).
Apa pun persepsi kita, keputusan MK tetap perlu didukung dengan mengambil sisi positif dari perspektif keputusan tersebut.

Ada tiga tujuan utama dari perubahan menuju BHP bagi PT, yaitu otonomi, transparansi, akuntabilitas, dan daya saing sebagaimana tujuan strategis akhirnya. Otonomi kampus berlatar belakang krisis yang dialami oleh negara di antaranya menyebabkan negara kesulitan dalam memenuhi anggaran belanja negara di bidang pendidikan secara “mandiri”.

Tahapan awal dari proses otonomi kampus tersebut adalah melalui perubahan struktur organisasi dan demokratisasi kampus. Pada struktur yang baru tersebut, universitas tidak lagi bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), tapi kepada Majelis Wali Amanat (MWA) sebagai stakeholders dari universitas. MWA terdiri atas unsur pemerintah, senat akademik, dosen, mahasiswa, dan masyarakat. Meski demikian, proporsi suara Mendiknas dalam MWA mempunyai representasi besar. Dari sisi transparansi, dampak dari otonomi yang diberikan membuat PT harus mempertanggung-jawabkan laporan keuangannya secara transparan dan akuntabel kepada semua stakeholders.

Kampus diberi kebebasan sebesarbesarnya untuk mencari sumber pendanaannya di mana sebanyak 50% akan ditanggung pemerintah, maksimum 33% bisa diambil dari dana masyarakat seperti SPP dan SPI, serta sisanya akan ditanggung bersama oleh pemerintah dan PT. Dengan demikian, tujuan akhir strategis diharapkan akan dapat dicapai secara lebih baik. Dari konsep di atas,secara logis PT seharusnya bisa bertransformasi secara alami dari teaching university menuju ke research university dan pada akhirnya menjadi entrepreneurial university. Roh sejati dari BHP adalah meningkatkan kreativitas dalam mengembangkan kompetensi kampus sebagai berbasis riset sehingga dapat menghasilkan riset bermutu yang bisa dikerjasamakan pendanaannya dengan industri, riset dengan hasil banyak paten,serta knowledge based incomelain. Berbeda dengan semangat filosofisnya, pada kenyataannya banyak PTN yang sudah ber-BHP mengeluhkan bahwa target knowledge based incomemereka tak sesuai dengan harapan.Apa yang mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya yang maksimal 33% adalah dengan cara paling gampang menaikkan SPP mahasiswa ataupun membuat bisnis yang “biasa”dan “bisa”dilakukan oleh bukan perusahaan berbasis riset seperti mendirikan pusat perbelanjaan, asrama, SPBU, dll yang hanya bersifat “efisiensi” kebutuhan internal.

Kebutuhan total biaya operasional dari PT tersebut semakin tinggi dengan tuntutan yang tinggi terhadap capaian standar pelayanan minimal (SPM) hingga internasionalisasi peringkat. Mencapai SPM sebagaimana kriteria akreditasi bagi beberapa PT yang jauh dari pusat pemerintahan saja sudah sulit, apalagi mencapai peringkat internasional. Mencapai peringkat internasional tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit di mana kebutuhan dana tersebut terserap untuk investasi hardware maupun investasi human capital. Oleh karena itu,“pemaknaan” dan “strategi” yang salah tentang bagaimana kita mencapai peringkat internasional akan menyedot dana keuangan kita ke luar negeri tanpa ada investasi pengembalian yang pasti. Contohnya, PT perlu memilih kendaraan “peringkat internasional”-nya dengan mempertimbangkan sisi kompetitif ekonomi negara dan sisi “komparatifnya”. Misalnya, pemilihan bidang sastra dan musik tradisional daerah tertentu sebagai kendaraan “peringkat internasional”. Suatu PT di Indonesia memang dari sisi komparatif adalah pilihan jitu, tapi hanya menghasilkan sedikit dampak ekonomis bagi daya saing bangsa.

Oleh karenanya, konsep uniqueness produk dan kemampuan PT untuk melakukan kerja sama dengan industri dan lembaga penelitian nasional di dalam negeri seperti BPPT, Ristek sangat mendukung keunggulan daya saing produk risetnya. Dengan demikian, pencapaian peringkat internasional kita tidaklah bersifat semu, yaitu tampaknya hebat,tetapi dana operasional terkuras secara tidak efisien ke luar negeri.

Mengingat spirit BHP sebenarnya adalah baik, seharusnya meskipun tanpa menggunakan “baju” BHP, PT perlu mengakomodasi spirit profesional tersebut, baik dalam bentuk BLU ataupun model yayasan pendidikan yang lain. Apa pun status badan hukumnya, apakah BHP atau BLU, yang penting diberikannya otonomi seluas-luasnya tidak hanya dari sisi akademik, tapi juga keuangan, SDM, organisasi, dan manajemen.

*)Penulis adalah Rektor
Institut Teknologi Sepuluh Nopember


LAPORAN UTAMA

Komite Sekolah
Sebagai Mitra Kerja, Bukan Hakim

Komite Sekolah merupakan organisasi
mitra sekolah yang memiliki peran
sangat strategis dalam upaya
turut serta mengembangkan pendidikan
di sekolah,
bukanlah organisasi yang
berfungsi untuk menghakimi sekolah.
Dengan demikian kehadirannya tidak hanya
sekedar sebagai stempel sekolah semata,
khususnya dalam upaya memungut biaya
dari orang tua siswa,
namun lebih jauh Komite Sekolah
menjadi sebuah organisasi
yang benar-benar dapat mewadahi dan
menyalurkan aspirasi (uneg-uneg)
serta prakarsa dari masyarakat
dalam melahirkan kebijakan operasional
dan program pendidikan di sekolah

Melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasional nomor : 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 yang didasarkan atas perlunya keterlibatan masyarakat secara penuh dalam meningkatkan mutu pendidikan pada tiap satuan pendidikan, maka keberadaan Komite Sekolah di suatu satuan pendidikan sangatlah mutlak dibutuhkan. Karena pendidikan memang memegang peranan yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) serta merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri.

Adapun salah satu tujuan pembentukan Komite Sekolah adalah guna meningkatkan tanggung jawab dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan. Hal ini berarti peran serta masyarakat sangat dibutuhkan dalam peningkatkan mutu pendidikan, bukan hanya sekadar memberikan bantuan berwujud material saja, namun juga diperlukan bantuan yang berupa pemikiran, ide, dan gagasan-gagasan inovatif demi kemajuan suatu sekolah atau satuan pendidikan.

Masih berdasarkan Kepmendiknas nomor: 044/U/2002, Komite Sekolah merupakan badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada pendidikan pra sekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan di luar sekolah.

Hai ini sesuai dengan tujuan dibentuknya Komite Sekolah guna mewadahi dan menyalurkan aspirasi serta prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan, meningkatkan tanggung jawab dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan, serta menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan.

Guna meningkatkan pengelolaan pendidikan perlu adanya pembenahan-pembenahan yang dilandasi dengan adanya kesepakatan, komitmen, kesadaran, kesiapan membangun budaya serta profesionalisme guna mewujudkan masyarakat sekolah yang memiliki loyalitas terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan Ketua Komite Sekolah SD Sidorejo Lor 5 Salatiga, Dadit Kurniawan, S.Pd yang mengatakan bahwa adanya Komite Sekolah bertujuan untuk meningkatkan tanggung jawab dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.

Adapun peran Komite sekolah adalah sebagai pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan serta pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan dan sebagai mediator antara pemerintah dan masyarakat di satuan pendidikan. Selain itu komite sekolah juga berfungsi untuk memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada sekolah mengenai kebijakan dan program pendidikan, rencana anggaran pendidikan dan belanja sekolah (RAPBS), kriteria kinerja sekolah, kriteria tenaga kependidikan, kriteria fasilitas pendidikan, serta hal-hal yang terkait dengan pendidikan.

Komite Sekolah merupakan organisasi mitra sekolah yang memiliki peran sangat strategis dalam upaya turut serta mengembangkan pendidikan di sekolah, bukanlah organisasi yang berfungsi untuk menghakimi sekolah. Dengan demikian kehadirannya tidak hanya sekedar sebagai stempel sekolah semata, khususnya dalam upaya memungut biaya dari orang tua siswa, namun lebih jauh Komite Sekolah menjadi sebuah organisasi yang benar-benar dapat mewadahi dan menyalurkan aspirasi (uneg-uneg) serta prakarsa dari masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di sekolah serta dapat menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu.

“Dibentuknya Komite Sekolah bukan sebagai hakim, melaikan sebagai mitra kerja guna meningkatkan mutu pendidikan pada satuan kerja tertentu” tandas Dadit Kurniawan yang selain Ketua Komite Sekolah SD Sidorejo Lor 5 juga sebagai tenaga pengajar di SMK N2 Salatiga.

Menurut Kepala SMK Muhammadiyah Salatiga, Drs. Surono, M.Pd keberhasilan dalam penyelenggaraan pendidikan di SMK Muhammadiyah Salatiga tidak hanya menjadi tanggung jawab kepala sekolah, melainkan juga masyarakat dalam arti Komite Sekolah. Hal ini sesuai dengan konsep partisipasi berasis masyarakat (community-based participation) dan Manajemen Berbasis Sekolah (school-based management) yang kini tidak hanya menjadi wacana, akan tetapi telah dilaksanakan. Adapun Inti dari penerapan kedua konsep tersebut adalah bagaimana agar sekolah dan semua yang berkompeten dapat memberikan layanan pendidikan yang berkualitas. “Yang jelas hal ini terbukti bahwa kegiatan-kegiatan di SMK Muhammadiyah Salatiga selama ini banyak dibantu oleh komite sekolah” tandasnya.

Terpisah Kepala Program Keahlian Listrik SMK Muhammadiyah Salatiga, Sisyono, S.Pd sangat mendukung keberadaan Komite Sekolah tersebut. “Komite Sekolah sangat diperlukan, karena dapat memberikan bantuan pemikiran, ide, gagasan-gagasan inovatif serta sebagai kontrol demi kemajuan suatu sekolah” kata Sisyono.(HB_5).


SD N Salatiga 02
Menuju Sekolah Gratis dan Terbuka

Iklan sekolah Gratis telah berkumandang sejak lama dan telah lama pula kita simak melalui media masa. Informasi yang membuat masayarakat senang dan bangga akan bangsa ini bisa kita peroleh dari TV, koran, pamflet, leaflet, radio dan media lainnya.

Rupanya sekolah gratis tersebut memang benar-benar ada dan telah terwujud di berbagai belahan negeri Indonesia ini, terutama di daerah yang Pendapatan Asli Daerah(PAD)-nya tinggi. Di Salatiga juga ada beberapa sekolah yang benar-benar tidak memungut biaya pendidikan bagi siswanya, salah satunya SDN Salatiga 02. Mari kita mengenal dan menelusuri bagaimana kiat sekolah ini menyiasati biaya operasional pendidikannya.

SDN Salatiga 02 terletak di pusat kota, tepatnya di Jl. Diponegoro No 12 Salatiga. Lokasi ini sangat stategis dibandingkan dengan sekolah lain di kota ini. Sarana transportasi juga sangat mudah karena berada kurang dari 1 Km dari bundaran Tamansari dan terminal angkot.
Sekarang ini kepala sekolah dipegang oleh salah seorang kepala sekolah teladan di Salatiga, namanya Supriyadi, SPd. Sosok pemimpin yang satu ini sungguh mewakili penampilan SDN Salatiga 02 yang terbuka dalam hal manajemennya.

Supriyadi yang didampingi sekretarisnya Kasiyadi, S.Pd., membenarkan bahwa benar sekolah tersebut tidak memungut biaya pendidikan dari siswa dan orang tua siswa. Meskipun begitu mutu pendidikan yang disajikan tidak kalah dengan SD yang ternama dan diunggulkan di kota ini.

“Mulai dari pendaftaran masuk, kami tidak memungut biaya. Baik formulir sampai pada uang sumbangan atau uang gedung tidak ada. Kalau seragam itu jelas karena kebutuhan pribadi anak” terang Supriyadi.
“Bahkan untuk lembar kerja siswa (LKS), praktikum, seni budaya dan ketrampilan (SBK) sampai penambahan jam pelajaran semua tanpa pungutan biaya” tambah kepala sekolah berpenampilan sederhana ini.

Kiat sekolah dalam mengelola pendanaan bagi kebutuhan pendidikan adalah mengoptimalkan dana bantuan operacional siswa (BOS). Untuk kekurangan kebutuhan diperoleh dengan penggalangan infaq yang tidak membebani.
“Bila ada kebutuhan siswa yang tidak terpenuhi dengan dan BOS tersebut pihak sekolah mengumpulkan komite sekolah dan wali murid untuk berembug bersama. Pemecahan biasanya jatuh pada program infaq. Infaq tersebut sifatnya sangat sukarela dan tidak ada penyebutan angka minimal. Bahkan bila orang tua tidak mampu, tidak memberikan infaq pun tidak apa-apa, karena sistem yang kita kembangkan adalah subsidi silang” papar Supriyadi.
SDN Salatiga 02 ini memungkinkan program subsidi silang antara siswa yang mampu dan yang kurang mampu karena prosentrase siswa mampu berjumlah 80% lebih. Sehingga sekolah tidak mengharuskan wali murid untuk berinfaq bila ada kekurangan biaya pendidikan.

Sekolah ini dalam penerimaan siswa baru terpaksa melaksanakan seleksi internal, meskipun pada tingkatan SD sekolah tidak boleh melakukan seleksi. Ini terjadi karena sekolah ini tidak memiliki kelas paralel, sedangkan pendaftar melebihi kuota.
Seleksi tersebut bukanlah berdasarkan pada kemampuan ekonomi tapi lebih pada kepribadian siswa. “Semua siswa yang mendaftar di SD ini kami seleksi dari keberanian, mental dan bahasa (komunikasi). Jadi bukan pada tes akademik atau baca tulis dan hitunnya” tandas Supriyadi.

Untuk profil, SD Negeri Salatiga 02, Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga sebagai salah satu institusi pendidikan mempunyai tanggung jawab untuk ikut berperan serta merealisasikan visi Kementrian Pendidikan Nasional yang diaplikasikan pada visi Sekolah.
Melalui penyusunan program yang jelas, terarah dan terukur yang dituangkan dalam Rencana Pengembangan Sekolah ( RPS ) dan dijabarkan dalam Rencana Kerja Sekolah ( RKS ), serta peran serta masyarakat dan dukungan pemerintah diharapkan dapat mewujudkan visi sekolah, yaitu “Siswa SD Salatiga 02 yang kompetitif, beriman, berbudi pekerti luhur, cinta tanah air dan berbudaya “.

Adapun visi SD Negeri Salatiga 02 adalah “Insan yang kompetitif, beriman, berbudi pekerti luhur, cinta tanah air dan berbudaya”. Sedangkan misinya dijabarkan sebagai berikut: pertama, melaksanakan dan meningkatkan kualitas pembelajaran, untuk membentuk siswa yang cerdas dan unggul, melalui pembelajaran yang kreatif dan inovatif. Kedua, melakukan pembinaan sesuai bakat dan minat siswa, untuk mengembangkan potensi siswa.

Ketiga, memberikan dasar keterampilan iptek dan teknologi informasi. Kempat, menanamkan budaya membaca dan menulis (mengarang). Kelima, meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui kegiatan kerohanian sesuai agama dan keyakinan masing- masing. Keenam, mengembangkan sikap toleransi di tengah kehidupan masyarakat yang madani menuju terciptanya kehidupan yang harmonis. Ketujuh, menanamkan kepribadian dan budi pekerti luhur melalui pendekatan budaya. Kedelapan, memupuk dan mempertebal semangat kesadaran berbangsa dan bernegara. Kesembilan, membina kerukunan, kepekaan sosial dan kepedulian lingkungan. Kesepuluh, membina dan mengembangkan seni dan budaya untuk membentuk budi pekerti yang santun.

Tujuan sekolah ini adalah meningkatkan kualitas pendidikan SD Negeri Salatiga 02 menuju sekolah mandiri, melalui peningkatan kualitas pembelajaran, pembinaan minat dan bakat, peningkatan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, pembentukan budi pekerti luhur, dan pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara, serta pembinaan seni budaya

Adapun sasarannya terwujudnya sekolah yang berkualitas dengan indikator sebagai berikut: pertama, tersedianya guru dan tenaga kependidikan yang profesional. Kedua, memiliki sarana dan prasarana yang lengkap dan berkualitas serta berdaya guna tinggi. Ketiga, kondisi pisik dan psikhis sekolah dan lingkungan sekolah yang nyaman sehingga mampu menciptakan iklim kerja yang kondusif dan meningkatkan motivasi relajar.

Kempat, model pembelajaran yang berorientasi pada keterampilan proses dengan pendekatan pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan ( Pakem ). Kelima, unggul dalam berbagai macam kompetisi baik akademik maupun non akademik di tingkat gugus, kecamatan, kota, maupun provinsi serta tingkat nasional.
Kenam, menghasilkan out put yang berdaya saing tinggi dan menguasai dasar- dasar ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketujuh, tercapainya otonomi sekolah, yang mencerminkan keleluasaan sekolah mengatur, mengurus dan mengembangkan sekolah, sesuai dengan program pemerintah, sehingga terwujud sekolah yang mandiri.

Dalam motto SD N Salatiga 02 mengangkat ”Unggul dalam program, layanan, dan prestasi”harian, program evaluasi, dan program Perbaikan dan pengayaan, disiapkan pada awal tahun pelajaran. Sedangkan rencana harian, program evaluasi, dan Program remidial disusun secara rutin harian/ mingguan.
Sekolah juga perlu mempersiapkan Hidden Curriculum di luar struktur kurikulum yang berfungsi untuk meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, menumbuhkan sikap toleransi inter dan antar umat beragama, membentuk kepribadian luhur, mempertebal semangat kebangsaan/ patriotisme dan menciptakan kehalusa budi pekerti.

Adapun Hidden Curriculum meliputi : pertama, pembentukan/Penguatan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, penanaman akhlak mulia/budi pekerti luhur. Ketiga, penanaman semangat nasionalisme dan rasa cinta tanah air. Keempat, penanaman estetika, seni dan budaya dan kelima, pembentukan sikap kepedulian sosial dan lingkungan.
Kendala yang dihadapi sekolah ini adalah, Tata kelola letak dan ruang sekolah yang kurang harmoni, tidak memiliki lahan yang memadai untuk kegiatan di luar kelas, tidak memiliki tempat upacara yang layak dan ruang bermain yang cukup luas. Selanjutnya lingkungan sekolah yang kurang sejuk dan kurang asri, belum memiliki sarana teknologi informatika yang cukup memadai ( misal: akses internet ).

Permasalahan lain adalah sarana dan prasarana sekolah belum dimanfaatkan secara optimal, proses belajar- mengajar yang masih cenderung konvensional ( belum inovatif ), jumlah siswa per- rombel terlalu besar melebihi standar nasional. ( maks 28 siswa ), dukungan Pemerintah Daerah pada sektor kegiatan belum memadai, belum memiliki Program/ Rencana Pengembangan Sekolah yang jelas dan terarah.
Dari segi prestrasi sekolah ini mampu masuk pada dataran sekolah RSBI tapi karena prasarana yang tidak memungkinkan akhirnya diganti oleh sekolah lain tapi SD ini tetap menjadi sekolah inti. Dalam prestrasi sekolah ini juga unggul terbukti dalam try out UASBN selalu menduduki peringkat tiga besar.

Prestasi siswanya antara lain, juara I putera dan II puteri Siswa Berprestasi tingkat Kota, Juara II tingkat Provinsi Mapsi (mata Pelajaran dan Seni Islam), Juara I dr Kecil tingkat Kota, Juara 2 Tingkat Kota Cerdas Cermat tahun 2010. juara CCQ, juara Karate tingkat Nasional, juara lomba menyanyi. baru-baru ini siswa juga menjuarai Olympiade Sains Kota Salatiga dan akan maju ke tingkat Provinsi.
”Keberhasilan sekolah adalah adanya teamwork yang solid” pungkas Supriyadi.(HB_8)

Budi Pekerti Benteng Diri

Manusia Indonesia menempati posisi sentral dan strategis dalam pelaksanaan pembangunan nasional, sehingga diperlukan adanya pengembangan sumber daya manusia (SDM) secara optimal. Pengembangan SDM dapat dilakukan melalui pendidikan mulai dari dalam keluarga, hingga lingkungan sekolah dan masyarakat. Salah satu SDM yang dimaksud adalah generasi muda (young generation) sebagai estafet pembaharu merupakan kader pembangunan yang sifatnya masih potensial, perlu dibina dan dikembangkan secara terarah dan berkelanjutan.

Akibat dari menurunnya nilai – nilai budi pekerti, moral pada pribadi masyarakat dan siswa pada umumnya menimbulkan efek-efek sosial yang buruk. Bermacam-macam masalah sosial dan masalah-masalah moral timbul di Indonesia antara lain : 1). meningkatnya pembrontakan remaja atau dekadensi etika/sopan santun pelajar, 2). meningkatnya kertidakjujuran, seperti suka bolos, nyontek, tawuran dari sekolah dan suka mencuri, 3). berkurangnya rasa hormat terhadap orang tua, guru, dan terhadap figur-figur yang berwenang, 4). berbahasa tidak sopan, 5). timbulnya gelombang perilaku yang merusak diri sendiri seperti perilaku seksual premature, penyalahgunaan mirasantika/narkoba dan perilaku bunuh diri, 6). timbulnya ketidaktahuan sopan santun termasuk mengabaikan pengetahuan moral sebagai dasar hidup.

Berkaitan dengan berkembangan budi pekerti atau perilaku remaja dan masyarakat maka berikut adalah petikan wawancara reporter Majalah Hati Beriman dengan salah seorang guru Bimbingan Konseling SMPN 9 Salatiga Ibu Padminingsih, S.Pd.

Bagaimana pandangan Anda tentang perkembangan perilaku remaja saat ini

Secara umum pada saat ini telah terjadi dekadensi moral, perilaku remaja telah mengalami kemunduran dari waktu ke waktu. Bahkan sebagian besar pelajar dan masyarakat telah tercerabut dari peradaban eastenisasi (ketimuran) yang beradab, santun dan beragama. Jika melihat kembali diera tahun 80 an jika dibandingkan dengan kondisi remaja dan masyarakat secara umum saat ini telah terjadi perubahan yang signifikan. Tata krama, unggah-ungguh, sopan – santun telah banyak ditinggalkan, bahkan bahasa jawa pun telah banyak ditinggalkan orang jawa sendiri. Namun demikian untuk Kota Salatiga menurut pengamatan kami tingkat dekadensi moral yang terjadi masih dalam batas yang masih terkendali hal ini khususnya di SMPN 9. Memang nilai nilai luhur adat Jawa memang telah banyak ditinggalkan, namun secara umum remaja di Salatiga masih cukup memiliki sopan santun.

Adanya kasus remaja yang bunuh diri karena tidak lulus sekolah atau karena persoalan cinta sebenarnya apa yang sedang terjadi

Permasalahannya adalah tidak seimbangnya antara harapan dan kenyataan yang ada, memang pada masa remaja ini sedang berada dalam tahap mencari jati diri, sehingga sangat membutuhkan perhatian, pengawasan dan bimbingan yang tepat dari semua pihak, terutama dari orang tua. Pemenuhan kebutuhan materi saja tidak cukup, seorang anak sangat membutuhkan perhatian dari orang tua sehingga dalam hal ini orang tua harus bisa menjadi panutan dan sekaligus teman. Apabila seorang anak sedang mendapatkan suatu masalah maka dia lebih senang untuk menyampaikan permasalahannya secara terbuka kepada orang tuanya. Dengan kondisi seperti ini maka permasalahan yang dihadapi seorang anak akan dapat diketahui secara dini oleh orang tua, sehingga dapat segera dicarikan jalan keluarnya.

Pada saat ini dalam kurikulum sekolah tidak ada Pendidikan Budi Pekerti Bagaimana pandangan ibu mengenai hal ini

Secara jujur sebenarnya Pendidikan Budi Pekerti sangat dibutuhkan pada saat ini. Pendidikan Budi Pekerti ini memiliki efek pencegahan terhadap terjadinya dekadensi moral remaja dan masyarakat. Seperti dalam dunia kesehatan sebenarnya mencegah adalah lebih baik daripada mengobati, apabila telah terjadi penurunan moral perilaku remaja dan masyarakat akan lebih sulit untuk memperbaikinya. Bayangkan saja dari seorang remaja yang tumbuh dewasa nantinya akan lahir generasi penerus pembangunan, jika misalkan si A ini telah memiliki perilaku yang tidak baik bagamana dengan keturunannya nanti. Seperti peribahasa buah itu jatuhnya tidak jauh dari pohonnya, jika orang tuanya memiliki moral yang tidak baik maka sang anak tidak jauh berbeda dari orang tuanya. Walupun tidak sepenuhnya benar namun secara umum berlaku kondisi seperti itu. Sehingga menurut pandangan kami Pendidikan Budi Pekerti sebenarnya mutlak diperlukan untuk menumbuhkan generasi penerus yang menjunjung tinggi nilai – nilai kesopanan, tata krama, unggah – ungguh.

Sebenarnya seperti apakah Pendidikan Budi Pekerti itu

Pendidikan Budi Pekerti di Salatiga yang ada diwaktu dulu lebih condong pada pembelajaran tentang adat budaya Jawa, adat ketimuran yang diwariskan oleh para leluhur. Siswa diajarkan tentang sopan santun kepada semua makhluk hidup, kepada orang yang lebih muda, teman seumur dan kepada orang yang lebih tua atau dituakan. Selain itu diajarkan pula tentang tata krama dan tanggung jawab. Sebenarnya apabila tatakrama telah dimiliki seseorang maka perilaku hidupnya akan mengalir mengikuti tata krama yang telah diketahui dan dipahaminya.

Menurut pandangan ibu siapa saja yang bertanggung jawab dalam menjaga dan memperbaiki perilaku remaja

Sebenarnya semua orang memiliki tanggung jawab terhadap perilaku remaja dan masyarakat. Karena secara individu pun seseorang dituntut memiliki perilaku yang baik, dia memiliki tanggung jawab terhadap diri sendiri dan masyarakat di sekitarnya. Namun demikian ada tiga lingkungan mendasar yang bertanggung jawab atas perilaku remaja dan masyarakat yaitu lingkungan keluarga dalam hal ini orang tua, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Dalam keluarga seorang anak tumbuh dengan mendapatkan pendidikan perilaku yang paling awal, orang tua harus dapat memberikan contoh yang baik kepada anak – anaknya, jangan sampai orang tua mendapatkan cap jarkoni(”ujar tapi ora nglakoni”) dari anaknya sebagai misal orang tua menyuruh anak untuk belajar sementara itu orang tuanya justru menonton film di tv. Sebenarnya teladan atau contoh dari orang tua atau orang yang dituakan merupakan pembelajaran yang sangat efektif, karena adakalanya seorang anak cenderung memberontak jika merasa digurui, tapi dengan memberikan contoh yang baik anak akan lebih mudah mengikuti atau mengambil hikmahnya. Sedangkan untuk lingkungan sekolah dengan tidak adanya Pendidikan Budi Pekerti memang terasa kurang walaupun nilai – nilai budi pekerti telah secara sistematis dan sistemik diintegrasikan dalam materi pelajaran pendidikan Agama, PPKn dan pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Terhitung sejak tahun 2006, dalam kurikulum KTSP terdapat 10 tugas perkembangan yang mendukung pendidikan budi pekerti di sekolahan, dimana 10 program tersebut terbagi dalam empat bidang bimbingan yaitu bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar dan bimbingan karir.

Manurut ibu bagaimanakah pengaruh budaya luar terhadap perkembangan budi pekerti remaja

Secara umum memang budaya asing telah memberikan pengaruh kurang baik terhadap perilaku remaja dan masyarakat. Ditinggalkannya budaya luhur bangsa memang sangat mengkhawatirkan, perilaku hidup bebas memang mulai masuk dalam kehidupan masyarakat Indonesia, untuk itu benteng diri yang paling baik adalah kesadaran dari tiap individu akan pentingnya melestarikan adat ketimuran yang luhur, melaksanakannya dalam kehidupan sehari – hari niscaya budaya asing yang bersifat negatif tidak akan mempengaruhi perilaku bangsa ini.Oleh karena itu tata krama, sopan santun atau unggah ungguh serta rasa tanggung jawab harus bisa terpatri kuat dalam diri para remaja karena nanti jika telah beranjak dewasa pengawasan dan perhatian dari orang tua akan sangat minim sekali, misalnya jika seseorang telah kuliah di luar kota maka orang tua sudah tidak dapat mengawasi dan memperhatikan anaknya secara langsung. Dalam keadaan seperti ini maka budi pekerti merupakan benteng bagi diri sendiri.

Apa harapan ibu terkait pembelajaran budi pekerti bagi remaja

Peningkatan dan intensitas pelaksanan pendidikan moral di sekolah merupakan tugas yang sangat penting dan sangat mendesak, dan perlu dilaksanakan secara komprehensif dengan menggunakan strategi serta model pendekatan secara terpadu, yaitu dengan melibatkan semua unsur yang terkait dalam proses pembelajaran atau pendidikan seperti : guru-guru, kepala sekolah orang tua murid dan tokoh-tokoh masyarakat. Tujuan pendidikan budi pekerti tidak semata-mata untuk menyiapkan peserta didik untuk menelan mentah konsep-konsep pendidikan budi pekerti, tetapi yang lebih penting adalah terbentuknya karakter yang baik, yaitu pribadi yang memiliki pengetahuan moral, peranan perasaan moral dan tindakan atau perilaku moral. Lebih jauh mengingat pentingnya budi pekerti bagi generasi penerus bangsa maka harapannya bahwa Pelajaran Budi Pekerti ini kembali dapat menjadi salah satu mata pelajaran di sekolah. Karena siswa yang cerdas dengan prestasi bagus dalam mata pelajaran saja tidaklah cukup untuk membangun bangsa ini. Harus ada keseimbangan antara pengetahuan yang baik dan perilaku yang baik. Jika keduanya dapat tercapai tentunya akan lebih mudah untuk mewujudkan Indonesia yang maju dan lebih sejahtera.(pnj)


 
template : HB  |    by : boedy's