SELAMAT HARI JADI SALATIGA KE-1260 "ÇRÎR=ASTU SWASTI PRAJÂBHYAH"

Senin, 26 Juli 2010

OPINI : VOL. 04/03/2010

Menjadi Kota Residensial Tanpa Menghapus Kenangan Tempoe Doeloe

Bulan Juli ini Kota Salatiga memasuki usia ke-1.260 tahun. Dibandingkan dengan kota-kota lainnya di Indonesia, boleh dikatakan Salatiga masuk dalam jajaran kota tertua dan sangat uzur. Penetapan Salatiga berdiri pada 1.260 tahun lalu tersebut, berdasarkan hasil penelitian sejumlah pakar sejarah, yang kemudian ditetapkan berdasarkan surat keputusan Walikota.

Muncul pertanyaan dalam benak kita, apakah dalam usia tersebut perkembangan kota telah memasuki tahap modern dibandingkan dengan kota-kota lainnya? Lalu apakah perkembangan dinamika kehidupan bermasyarakat dan pembangunan yang telah dilaksanakan dalam usia uzur itu, telah memberikan kesejahtaraan bagi warganya? Serta pertanyaan-pertayaan lainnya, yang berkaitan dengan kesejahteraan warga kota.

Memulai tulisan ini, saya langsung teringat ketika berdiskusi dengan seorang teman yang juga senior, beberapa waktu lalu. Tergambar Salatiga ke depan, tidak akan beda dengan kota-kota di sekitar Jakarta, seperti Tangerang, Bekasi, Bogor, dan lainnya. Kota Salatiga dan wilayah sekitarnya akan menjadi kota residensial. Ya, sebagai kota tempat tinggal, di mana masyarakatnya bekerja dan berusaha di Kota Semarang atau Solo. Dengan akses jalur tol yang akan melintas di Salatiga, maka perjalanan Salatiga-Semarang-Solo tidak akan lebih dari 30 menit. Berbeda dengan prediksi orang sebelumnya, bahwa Salatiga akan menjadi kota mati akibat jalan tol. Kendaraan yang biasa lewat di kota itu beralih lewat jalan tol.

Sebagai kota residensial, daerah ini akan dipenuhi komplek pemukiman penduduk. Namun jangan kaget, dengan konsep tersebut justru akan menumbuhkan perekonomian. Karena pemerintah dan masyarakat harus memenuhi kebutuhan warga residensial itu. Kebutuhan itu seperti pasar, pusat perbelanjaan, rumah makan, pusat kuliner rakyat, sarana hiburan, pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi), kesehatan (rumah sakit), fasilitas publik, dan fasilitas lainnya. Itu sejalan bila melihat kondisi Salatiga yang tidak lagi memiliki sumber daya alam, yang dapat dijual. Sehingga hanya dapat berkembang dengan logika bisnis, yakni penyediaan perdagangan dan jasa.

Residensial, memberikan kesempatan siapa saja menciptakan dan mengembangkan semua kebutuhan masyarakat itu. Tentunya para kreator itu, tidak harus pemodal besar, masyarakat bermodal kecil pun, tetap dapat memulainya. Mereka dapat menciptakan pusat-pusat jajanan tradisional, hiburan bagi masyarakat residensial, dan kreasi lainnya yang menguntungkan. Jangan khawatir enting-enting gepuk, wedang ronde, keripik paru, getuk ketek dan getuk lainnya, serta jajanan khas lainnya, tetap akan diburu.

Itulah potensi ekonomi yang mungkin dapat dikembangkan. Apabila dikelola dengan baik, akan menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD). PAD itu harus dikelola dengan baik, sebagai sarana menghidupkan perekonomian lainnya. Apakah konsep residensial itu dapat diterima atau tidak? Jangan kaget, bila nantinya konsep ini dipakai para investor untuk memulai bisnisnya. Wilayah kabupaten tetangga, terlihat sudah memulainya.

Kenangan Lalu
Terkait perkembangan dan pembangunan di Kota Salatiga, tidak tepat rasanya bila kita menilai kota ini berdasarkan catatan kekurangan dan kelebihan diri sendiri (warga kota). Alangkah bijaknya bila orang luar yang menilai, atau setidaknya orang Salatiga yang kini tidak lagi tinggal di kota ini, tetapi masih kerap pulang kampung mengenang masa lalu.

Pertengahan Mei 2010 lalu, penulis menjumpai keluarga besar Roy Marthen, yang mudik pulang kampung melakukan pertemuan keluarga. Roy bersama tiga saudaranya Chris Salam, Eric, dan Rony, berdiskusi tidak lepas dari perkembangan Kota Salatiga saat ini. Mereka mengaku benar-benar merasakan perubahan Salatiga dalam beberapa kurun waktu ini.

Roy mengungkapkan perubahan yang terlihat nyata adalah penerapan jalur searah Jalan Jenderal Sudirman. Diakuinya itu merupakan penataan yang sangat baik. Tetapi dia memberikan masukan soal perubahaan tata parkir dan penataan PKL, agar lebih indah. Serta jalan yang dibuat lebih mulus lagi.

Chris justru mengungkapkan, pembangunan tidak hanya fisiknya saja, namun juga dilihat kondisi psikis masyarakat. Apakah hidup masyarakat sekarang lebih enak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya? Rakyat punya pekerjaan atau tidak? Mereka dapat hidup layak atau tidak? Menurutnya, pemerintah harus melihat beberapa sisi, salah satunya sisi kehidupan riil masyarakat itu. Siapa saja pemimpin atau Wali Kota Kota Salatiga harus mampu melihat langsung kondisi riil kehidupan dasar rakyatnya.

Bila kebutuhan dasar masyarakat dipenuhi, maka sudah pasti taraf hidup akan meningkat. Chris mengibaratkan percuma pembangunan dilakukan muluk-muluk, sementara pembangunan moril rakyat tidak dipikirkan. Terlontar ucapan dari pengacara itu, percuma membangun mal dan pasar yang besar, tetapi tidak ada masyarakat yang berbelanja, karena tidak punya pekerjaan dan uang.

Terlepas, permasalahan itu, terungkap banyak warga Salatiga di perantauan yang rindu dengan Salatiga tempoe doeloe yang diibaratkan Paris van Java. Salatiga dikenang karena memiliki bangunan tua peninggalan Belanda. Hawa kota yang terkenal sejuk, pohon-pohon yang rindang, berbagai pilihan kuliner (jajanan) yang memanjakan lidah, serta kenangan-kenangan lainnya.

Pembangunan tidak harus berarti menghilangkan kesan-kesan ciri khas Salatiga kota kuno yang indah. Kita dapat mencontoh pembangunan yang terjadi di beberapa kota yang memiliki ciri tidak berbeda dengan Salatiga, seperti Kota Bandung atau Kota Magelang. Orang datang dan ingin berkunjung ke tempat itu, karena ada daya tarik kenangan lalu yang ingin dinikmati kembali. (-)

*)Penulis adalah Wartawan Harian
Suara Merdeka bertugas di Kota Salatiga
dan sekitarnya.

Selasa, 20 Juli 2010

Laporan Utama I: VOL. 04/03/2010


Laporan Utama : Salatiga Ditetapkan Sebagai Daerah Otonom


Perkem-bangan keraja-an Mataram Hindu yang berpusat di Medang ri Poh Pitu menimbulkan keprihatinan raja Sanjaya. Di samping perkem-bangan kehidupan spiritual pemeluk agama Hindu dan Budha yang menggembirakan, masalah bencana alam yang selalu ditimbulkan oleh gunung-gunung berapi akhirnya dibetulkan "team pencari daerah baru" yang bebas bencana.


Team ini dipimpin oleh salah satu putra raja yang berkedudukan sebagai Rakryan Mahamantri I Halu dibantu oleh beberapa pejabat tingkat pusat yang membidangi pemerintahan, upapatti (pejabat yang memimpin upacara penetapan simal wilayah, ahli sastra, pertahanan, pertanian, rsi/ tokoh agama dan seniman pembuat candi.


Sasaran wilayah yang dituju adalah sebelah timur garis UMM (Gunung Ungaran, Gunung. Merbabu, dan Gunung. Merapi). Team peneliti akhirnya memutuskan bahwa wilayah tersebut tidak memenuhi syarat bila dijadikan pusat pemerintahan/ kraton, dengan alasan tanah berbukit kurang cocok untuk pertanian, tidak ada sungai besar sehingga kurang menguntungkan pertahanan. Dan akhirnya team memutuskan wilayah tersebut sangat cocok untuk kepentingan agama. Dalam prasasti Plumpungan wilayah sebelah timur UMM disahkan sebagai sebuah perdikan disebut "hampragraman trigramya mahitam.*


Prof. DR. Raden Ngabehi Poerbotjaroko (ahli Bahasa Jawa Kuno) menjelaskan bahwa kata: 1. hampra merupakan daerah yang banyak ditumbuhi pohon bamboo; 2. trigramya = trigostya = trisaba = /rif a/a. Sesuai dengan kaidah tatabahasa Indonesia, maka kata trisala,= Qalatri = Salatiga. Kapan perdikan Salatiga tersebut diresmikan? Pada prasasti Plumpungan peresmian perdikan Trisala tertulis: Cakakalatita 672/4/31, Sukrawara maddhyaham //0//” Prof DR. Louse-Charles Damais dalam buku Etudes D'Epigraphie Indonesienne yang pernah dipublikasikan oleh D 'WF. Stutterheim (Direktur Kantor Archeologi Hindia Belanda) menghitung ke tahun Masehi menjadi: ”Hari Jumat tengah hari, tanggal 24 Juli, tahun 750 Masehi”


Sedangkan masalah pendidikan khususnya di Kota Salatiga, mulai dari zaman Pro Hindu/Budha dan zaman Hindu//Budha memiliki tahapan-tahapan khusus. Pada zaman Pro Hindu/Budha; Sebelum masuknya budaya Hindu-Budha ke Indonesia, peran seorang dukun dan undhagi sangat penting peranannya dalam pendidikan. Kedudukan seorang dukun yang mampu berhubungan dengan roh nenek moyang dan seorang undhagi yang pandai membuat peralatan/ senjata sangat dihormati dalam masyarakat. Kedudukan mereka bahkan disejajarkan dengan kepala suku, panutan dan guru. Kelompok dukun dan undhagi mendidik masyarakat secara langsung dalam kehidupan sehari-hari.


Zaman Hindu–Budha; Berdasarkan penemuan-penemuan situs kepurbakalaan yang tersebar di beberapa wilayah khususnya di Jawa Tengah menunjukkan bahwa kedudukan dukun dan undhagi telah digeser oleh peran seorang brahmana. Dalam naskah Kitab Sarasamuccaya 61:4 tertulis kalimat "ri sedeng nira n brahmacari, gurukulawesi kinenan sira diksabrata sangskarta" (Ketika ia sedang menjadi murid/ brahmacari, tinggal di rumah guru/ kulawesi, mereka disebut cantrik/diksabrata sangskarta). Murid/ brahmacari tinggal bersama guru di suatu asrama/ pertapaan. Kegiatan belajar mengajar tidak terbatas waktunya. Murid/ cantrik selain berkewajiban belajar, ia harus membantu gurunya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Selama mengikuti pendidikan/ nyantrik di pertapaan seorang murid/ sisya wajib memahami 2 (dua) macam aturan, yaitu: a) Siksa sisyakrama, yaitu berisi tentang aturan bagaimana tingkah laku seorang murid/ sisya; b) Gurususrusa, yaitu mengatur tentang bagaimana seharusnya berbakti kepada guru.


Sedangkan tugas seorang guru/ brahmana meliputi berbagai tugas dan kewajiban, antara lain: : a) Mangajya, yaitu memberi pelajaran berbagai Umum pengetahuan; b) Mayadjna, yaitu membimbing siswa/ sisya tentang peraturan membuat persajian dalam upacara tertentu; c) Mawehadana punya pengetahuan tentang pemberian sedekah, air kehidupan/ amrta, serta amaraha/menegur.


Ketiga mata pelajaran tersebut diatas dilakukan oleh guru beserta pembantu-pembantunya. "Sang brahmacarin, sang bhujangga siswa sogata, sakweh sang angulah l.ts kapandiditan (Kitab Slokantara 14:15).".

Jaman Hindu-Budha pendidikan hanya mengenal 4 (empat) tingkatan yaitu : a) Tahapan Brahmacari, nyantrik di pertapaan; b) Tahapan grhastha, pendidikan ke rumah-tanggaan; c) Tahapan wanaprastha, pendidikan untuk hidup menyendiri di hutan; d) Tahapan Bhiksuka, melatih mensucikan diri dan menjauhkan dari kehidupan duniawi.


Jaman Hindu-Budha sarana prasarana dan kurikulum pendidikan di perdikan digambarkan dalam Kitab Sutasoma karya Empu Tantular Tak Tertandingi 4:19 sebagai berikut:

Tahapan nyantrik; Tempat berlangsungnya proses pendidikan/ belajar mengajar disebut dengan istilah widyagocaraateupatapan. Widyagocara ini dikelilingi dengan berbagai pepohonan, berpagar, memiliki gapura serta terdapat pohon beringin yang rindah yang dipergunakan sebagai . tempat cantrik/ brahmacari/ sisya bermain. Patapan/ widyagora juga dilengkapi dengan berbagai bangunan yang disebut patani jamurl berbentuk jamur yang dipergunakan untuk belajar menari dan membaca kidung.


Tahapan grhastha; Dalam bab 38:15, proses belajar mengajar tahapan pendidikan grhastha disebut dengan istilah hadewaguryan yaitu suatu tempat yang terletak di kaki gunung, jauh terpencil di tengah hutan dan dihuni oleh keluarga dwija dan wanita-wanita suci. Lebih lanjut digambarkan bahwa kadewagurwan biasanya dekat dengan sungai besar, memiliki gapura yang menjulang tinggi, berwarna putih bersih dan temboknya dibuat dari tanah berbentuk lingkaran. Kadewagurwan selalu ditumbuhi oleh pohon tanjung, cempaka, bana dan nagakusuma yang selalu mengeluarkan bau harum.


Tahapan wanaprastha; Dalam kitab Negarakertagama karya Empu Prapanca (32:2a) dijelaskan secararinci tentang tempat berlangsungnya proses belajar mengajar untuk tingkatan wanaprastha. Tempat ini dipergunakan oleh para brahmana untuk melatih olah batin sekaligus dipergunakan sebagai tempat tinggal seorang rsi. Wanasrama dipimpin oleh dewaguru yang disebut siddhapandita/ yang disebut sang muniswaral sang mahrsi. Digambarkan lebih lanjut bahwa wanasrama biasanya terletak di tengah hutan lebat dan di tepi jurang yang dalam. Sedangkan bagi murid diatur berdasarkan tingkat kemampuan dan jenis kelamin. Tempat wanasrama diatur secara bertingkat dengan tempat paling tinggi dipergunakan sebagai tempat tinggal sang maharsi/ dewaguru.


Bagian di bawahnya ditempati oleh kelompok pendeta laki-laki yang diatur sesuai dengan tingkat kemampuan, yaitu tingkat manguyu, tapaswi, dan kaki. Pendeta-pendeta perempuan dipisahkan antara kelompok ubwan, topi dan endang. Materi kurikulum yang diberikan oleh sang maharsi antara lain tentang kebenaran/ yathabhuta, tingkah laku/ siksa sisyakrama, nilai-nilai kebajikan/astitisilakrama. Bakti kepada guru/ guru susrusa, helakuan terpuji/ susilasthiti serta, pelajaran memahami kesusastraan/ wruh ing kawi.

Tahapan bhiksuka; Pendidikan tingkat bhiksuka ini hanya diperuntukkan bagi lulusan tingkat wanaprastha yang berani meninggalkan keluarga dan keduniawian, hidup menyendiri di tengah hutan.


Demikianlah tinjauan Drs. Slamet Rahardjo yang menunjukkan kepada kita bahwa semasa berstatus Perdikan hampragraman trigramya, kehidupan masyarakat telah mengenal pendidikan dengan baik, teratur, terstruktur, toleransi serta terarah. Tujuan kehidupan masyarakat dalam pembangunan di segala bidang diarahkan dengan sesanthi yang ditinggalkan, yaitu: "Crir astu, swasti prajabbyah" Semoga bahagia, selamatlah rakyat sekalian.(Drs. Slamet Rahardjo)

Laporan Utama II : VOL. 04/03/2010


Laporan Utama : Perjalanan Sejarah Perdikan Salatiga


Salatiga harus merasa beruntung karena memiliki banyak sekali peninggalan kuno yang dapat dipergunakan merunut perjalanan sejarah daerah-daerahnya, Peninggalan-peninggalan kuno beraneka ragam bentuknya dan sebagian besar masih dapat dijumpai di Kota Salatiga dan sekitamya, meskipun tidak lengkap/ rusak bahkan hilang. Bentuk peninggalan-peninggalan kuno yang diketemukan di Salatiga ada yang berupa prasasti, monumen, patung, candi, artefak dan bangunan kuno. Hasil penelahan secara analistis/ teoritis dapat diketahui sejarah perjalanan panjang daerah tersebut.


Berdasarkan tinjauan Drs. Slamet Rahardjo, pada pertengahan abad ke 17 daerah perdikan Salatiga muncul dalam berita perjalanan utusan VOC ke Mataram Kartosuro yang bernama Van Goens. Berita tersebut kemudian diikuti route perjalanan Kapten Francois Tack pada tanggal 4 Februari 1686 yang harus lewat menyisiri Rawapening, Banyu Putih, Tingkir agar sampai ke Mataram Kartosuro untuk melaksanakan tugas memadamkan pemberontakan Untung Suropati (De Graaf 1989:54-55). Sedangkan perjalanan sejarah perdikan Salatiga sejak diresmikan dan hampir 900 tahun tidak terdeteksi kegiatan dan perkembangannya.


Timbul pertanyaan dalam hati kita : "Kegiatan-kegiatan apakah yang dilakukan oleh daerah perdikan Salatiga selama itu?" Sesuai dengan tugas dan fungsi sebuah perdikan yang dibebaskan dari segala tanggung jawab terhadap pusat pemerintahan di Mataram Hindu, maka pengaturan kehidupan ditentukan oleh masyarakat setempat yang meliputi Bidang Politik Pemerintahan, Ekonomi, maupun Sosial Budaya.


Bidang Politik Pemerintahan

Pusat pemerintahan perdikan dipimpin oleh Kepala Desa yang disebut Tuha wanua. Pejabat tuhawanua biasanya dipilih dari warga tertua yang dihormati. Dalam menjalankan tugas sehari-hari seorang tuhawanua dibantu oleh beberapa orang Rama Magnan yang mempunyai hak untuk mengeluarkan perintah kegiatan masyarakat. Dalam prasasti-prasasti yang diketemukan semasa pemerintahan Rakai Kayuwangi dan Rakai Watukura disebutkan bahwa tiap-tiap daerah pemerintahan terdapat kurang lebih 30 (tigapuluh) orang jabatan Rama Magnan.


Lebih lanjut diutarakan bahwa setiap Rama Magnan di suatu desa dibantu oleh kelompok-kelompok masyarakat yang terdiri dari Kelompok Rainanta, yang terdiri dari orang tua dan ibu-ibu; Kelompok Kara dan Wereh-wereh, yang terdiri muda-mudi; dan kelompok Wadwa Rarai yaitu kelompok anak-anak. (Prof. DR. Edi Sedyawati 1993:28-30)


Bidang Ekonomi

Prasasti-prasasti kuno selalu berisi tentang pendirian bangunan suci dan penetapan suatu daerah sebagai simbul perdikan, dan keduanya selalu dikaitkan dengan kehidupan keagamaan. Namun sesungguhnya kedua isi prasasti tersebut di atas juga sekaligus mencerminkan orientasi ekonomi.

Wilayah Jawa Tengah sejak abad ke 7 hingga pertengahan abad ke 10 ditandai oleh aktivitas yang luar biasa dalam pembangunan monumen-monumen keagamaan baik yang bersifat Hindu maupun Buddha. Pembangunan monumen keagamaan di atas dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok (Soekmono 1979:475-8).


Pembangunan sejumlah besar arsitektur monumental dalam waktu relatif singkat di daerah tersebut tentu membutuhkan tenaga kerja yang luar biasa banyak serta biaya tinggi. Waktu pembuatanpun relatif lama, sehingga tugas penggarapan sawah tertinggalkan. Kehidupan masyarakat pertanda tidak mungkin mendukung untuk pembangunan monumen-monumen raksasa, sehingga sangat memungkinkan usaha-usaha mencari daerah baru di sebelah timur garis UMM karena kehancuran ekonomi, selain bencana alam. "The final conclusion, then, is that central Javanese royalculture was destroyed by its own temples " (Schrieke 1957:301).


Pejabat-pejabat pemerintahan perdikanpun dipusatkan pada kehidupan keagamaan, sedangkan ekonomi dilakukan oleh masyarakat bawah/ kelompok tani. Lebih-lebih perdikan Salatiga tidak terletak di pantai, sehingga perdagangan dan pelayaran sulit untuk dilakukan.


Berita Negarakertagama secara implisit menggambarkan bahwa kelompok pedagang asing tidak diperkenankan untuk tinggal di pusat kerajaan/ pemerintahan tetapi harus di luar dan terutama di daerah pelabuhan, sehingga sistem barter sulit dilakukan pedagang lokal (Pigeud 1960, naskah 198).


Bidang Sosial Budaya

Bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa penguasa Mataram Hindu berasal dari eksodan-eksodan dari Hindia karena terjadi penyerangan bangsa Aria. Tidak mustahil bila terbukti hampir sebagian besar peninggalan-peninggalan arkeologis di Jawa Tengah dipengaruhi oleh budaya Amarawati India Selatan dan budaya Gandhara India Utara. Budaya bawaan dari Hindia di atas mendominasi pola kehidupan sosial budaya masyarakat perdikan Salatiga, yang meliputi keagamaan dan pendidikan.


Sesuai amanat penentuan misi perdikan Salatiga demi perkembangan kehidupan keagamaan, maka tidak mengherankan bila rekam jejak kehidupan masyarakat perdikan dipusatkan untuk keperluan tersebut. Di wilayah perdikan banyak diketemukan berbagai bentuk peninggalan kuno, diantaranya:

Bangunan Lingga-Yoni; Sistem pemujaan terhadap dewa dalam agama Hindu dapat berupa candi, patung, dewa, patung kendaraan, artefak ataupun bangunan yang disebut Lingga-Yoni. Pemujaan terhadap Lingga-Yoni sebagai bentuk lain pemujaan terhadap Dewa Siwa/ lambang kesuburan. Lingga-Yoni merupakan lambang kesatuan antara purusa dan paerity. Dan perlu untuk diketahui bahwa istilah purusa berarti : wong lanang/ pelanangan, kuwasa, kekendelan. Sedangkan paerity bermakna : wong wadon, nrima/ lembah manah. Sangat disayangkan bahwa bangunan kuno yang diketemukan telah kehilangan lingga dan tinggal yoni/ lumpang batu. Hilangnya lingga dapat dimaknai bahwa kita telah kehilangan kejantanan/ keberanian/ selalu ragu-ragu. Dan salah satu yoni yang diketemukan di perdikan Salatiga adalah tidak berbentuk lumpang batu tetapi berbentuk bunga padma/teratai. Pada hal bunga teratai merupakan simbol agama Buddha. (S. Prawiroatmodjo, 1987:398).


Patung Andhini; Patung Andhini / lembu jantan merupakan wahana/ kendaraan Dewa Ciwa. Pemujaan terhadap Andhini sebagai bentuk lain pemujaan terhadap Dewa Ciwa.

Candhi; Di wilayah perdikan Salatiga sebelah timur UMM, masih diketemukan 2 (dua) buah bangunan candi, yaitu: Candi Ngempon dan Petirtaan Bergas Karangjati serta Candi Lumpang di sebelah timur Klero Tengaran. Bahkan ada dugaan bila masih banyak candi yang belum diketemukan atau telah rusak. Hal ini bisa terjadi bila dihubungkan dengan keberadaan tempat/ desa yang bernama Kemiri Candi, Candi Gesi, Candhen,


Artefak Kaki Bima; Imaginasi masyarakat umum membayangkan bahwa Sang Bima/ Werkudara memiliki tapak kaki besar. Pada hal peninggalan kuno yang berbentuk artefak kaki merupakan penyembahan kepada Dewa Wisnu/ Penyelamat dunia. Tahun 1961 penulis masih menemukan 3 (tiga) buah artefak kaki Bina di pemandian Kalitaman, Gundhuk Bugel dan di desa Randhu Acir Kecamatan Argomulyo. Namun dari ke tiga artefak tersebut tinggal sebuah yang berada di Randu Acir, sedangkan sisanya sudah dihancurkan demi pembangunan.


Artefak Kaki Bima yang di Randu Acir sudah ditimbun tanah dan dijadikan sawah. Alasan yang dipakai karena dipergunakan oleh pecandu buntutan dari berbagai daerah untuk mendapatkan nomor jitu.

Patung Hamsa/Angsa; Dalam mitologi agama Hindu, patung Angsa merupakan ganti persembahan kepada Dewa Brahma. Patung ini sampai tahun 1975 masih terletak di sebelah barat SPG Kristen Ledok Tegalrejo.


Prasasti Tajuk Getasan Kopeng; Prasasti ini diketemukan oleh Ki Adi Samidil Mantan Kasi Kebudayaan Salatiga, Bp. Tri Purnoto / seniman dibantu oleh Bpk. Gunadi Lurah Cebongan Tingkir almarhum pada tahun 1976. Benda-benda lain kecuali prasasti adalah daun lontar dan patung kelamin pria dan wanita sebagai lambang kesuburan. Patung ini merupakan patung vulgar dari Lingga-Yoni. (Bandingkan dengan bentuk di Candhi Sukuh Kabupaten Karanganyar).


Berdasarkan pembacaan yang dilakukan oleh Prof. DR. Buchari prasasti menunjukkan dibuat abad ke 9. Sedangkan isinya tentang kehidupan masyarakat Hindu. Benda-benda ini pernah dipamerkan pada Dies Natalis UKSW tahun 1977. Benda-benda penting tersebut sudah diamankan oleh BP3 Pusat di Jakarta. Peninggalan di atas di samping sebagai sarana peribadatan, ternyata memiliki nilai seni yang tinggi. Ketelitian proporsi bentuk, kerumitan dan keindahan bangunan tidak mungkin dikerjakan secara sembarangan. Seniman yang ditugasi pasti paham/ menguasai kaidah-kaidah benda yang dibangun/ dikerjakan dan memiliki sense of art tinggi. Keahlian membuat patung dan Bong Cina di Blotongan Salatiga kemungkinan memiliki bakat keturunan dari seniman patung/ pembuat candi jaman dahulu.(Drs. Slamet Rahardjo)

Laporan Utama III : VOL. 04/03/2010


Laporan Utama : Perlu Dilestarikan Aset dan Warisan Luhur Budaya


Salatiga merupakan kota yang termasuk sebagai salah satu Kota Pusaka di Indonesia. Sebuah kota yang memiliki aset dan warisan luhur budaya yang harus tetap dilestarikan. Sebagai wujud keseriusan pemerintah dalam melestarikan warisan luhur tersebut maka pada tahun 2008 yang lalu telah dibentuk Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) . JKPI merupakan suatu organisasi di antara pemerintah kota dan atau pemerintah kabupaten yang mempunyai keanekaragaman pusaka alam dan atau pusaka budaya (tangible dan intangible), yang bertujuan untuk bersama-sama melestarikan pusaka alam dan pusaka budaya sebagai modal dasar untuk membangun ke masa depan.


Berkaitan dengan hal tersebut maka berikut adalah petikan wawancara reporter Majalah Hati Beriman dengan Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, Budaya dan Pariwisata Kota Salatiga Drs. Cholil As'ad.


Apa yang dimaksud dengan Kota Pusaka?

Kota pusaka adalah sebuah kota yang memiliki pusaka, dalam hal ini pusaka tersebut terdiri atas pusaka alam, pusaka budaya ragawi dan pusaka budaya tak ragawi. Gabungan dari ketiga jenis pusaka tersebut kemudian dinamakan saujana. Termasuk dalam pusaka alam di Kota Salatiga yaitu suasana alam yang dapat dinikmati oleh makhluk hidup.yang lebih lanjut dapat diartikan sebagai keindahan panorama, maupun kesejukan udara di Salatiga. Pemandangan yang indah dari Gunung Merbabu dan Merapi serta udara yang sejuk merupakan pusaka alam bagi Kota Salatiga sehingga harus dijaga kelestariannya Hal ini menuntut pengaturan terhadap keberadaan gedung-gedung bertingkat di Salatiga jangan sampai keberadaan gedung tersebut dapat menghilangkan kenikmatan warga menyaksikan keindahan alam disekitarnya.

Mengenai pusaka ragawi termasuk dalam jenis pusaka ini yaitu bangunan candi, istana, bangunan kecil yang bersejarah, dan pemukiman tradisional. Untuk Kota Salatiga maka keberadaan benda cagar budaya merupakan salah satu pusaka ragawi yang harus dijaga kelestariannya. Kemudian yang termasuk sebagai pusaka tak ragawi adalah meliputi tradisi, kearifan lokal, bahasa, sastra, musik tradisional, tari, teater, seni kriya, seni beladiri, olah raga, pengobatan tradisional, dan juga kuliner.


Sejak kapan istilah Kota pusaka ini digulirkan?

Sejak dibentuknya JKPI pada Oktober 2008 istilah Kota Pusaka ini resmi digunakan, pada waktu itu peresmian JKPI dilakukan di Kota Solo oleh Menteri Budaya dan Pariwisata Jero Wacik. Pada awal terbentuknya JKPI telah memiliki 12 kota yang terdaftar sebagai anggota, dan seiring berjalannya waktu hingga saat ini kurang lebih 32 kota telah terdaftar sebagai anggota JKPI termasuk Kota Salatiga. Dan menjadi kebanggaan Kota Salatiga bahwa Walikota Salatiga termasuk salah sebagai satu pengurus dari JKPI tersebut. Hal ini menunjukkan keseriusan dari Kota Salatiga untuk kedepan menjaga dan melestarikan pusaka yang dimiliki oleh Salatiga.


Apa yang mendasari perlunya diangkat tentang keberadaan Kota Pusaka ini?

Keberadaan pusaka tersebut menuntut kewajiban dari semua pihak untuk menjaga dan melestarikannya sehingga kekayaan alam dan budaya tersebut tidak hilang begitu saja. Generasi penerus bangsa inipun perlu dan memiliki hak untuk menikmati pusaka-pusaka tersebut. Namun selain itu tidak dipungkiri bahwa proses pembangunan harus terus dilaksanakan, keadaan seperti ini menuntut adanya keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian pusaka. Untuk itu perlu mencari jalan terbaik dalam rangka melestarikan aset warisan budaya ketika melaksanakan pembangunan pengembangan kota. Sebagai misal apabila dilaksanakan pembangunan mall yang menggusur bangunan bersejarah, maka hal tersebut tidak benar karena akan menghilangkan identitas bangsa. Namun jika mempertahankan bangunan warisan lalu mengabaikan pengembangan kota, juga tidak dibenarkan karena pemerintah harus menciptakan lapangan kerja demi kesejahteraan warga.

Dalam kondisi seperti itu maka perlu dicarikan suatu solusi pembangunan kota yang mempedulikan aset budaya. Misalnya, bangunan warisan kuno tetap dipertahankan berada di tengah bangunan modern yang dibangun. Bangunan kuno tersebut tetap dipertahankan bentuk fisiknya dan bisa difungsikan misalnya sebagai perpustakaan.

Cara seperti ini nantinya akan sangat membantu generasi penerus dalam melacak sejarah bangsanya sendiri. Mereka akan menghargai generasi pendahulunya sebagai orang tua yang mampu menghargai warisan budaya tapi tanpa menghambat pembangunan.


Apa yang menjadikan sebuah kota dapat disebut sebagai kota pusaka?

Apabila sebuah kota merasa memiliki ketiga jenis pusaka yaitu pusaka alam, pusaka ragawi dan pusaka tak ragawi dan kemudian mendaftarkan diri kepada JKPI, maka kota tersebut telah menjadi sebuah kota pusaka. Sehingga apabila ada sebuah kota yang sebenarnya memiliki pusaka-pusaka tersebut namun tidak mendaftar pada JKPI maka belum dapat disebut sebagai kota pusaka.


Bagaimana Pemerintah Kota Salatiga menyikapi termasuknya kota ini sebagai salah satu Kota Pusaka?

Sejak sebelum digulirkannya tentang kota pusaka ini Pemerintah Kota Salatiga telah mengambil sikap terhadap keberadaan pusaka di kota ini. Kebijakan tentang gedung-gedung bertingkat yang cukup tinggi sebenarnya telah diatur, selain itu pemerintah juga telah mengidentifikasi bangunan cagar budaya yang ada di Kota Salatiga dan berbagai upaya untuk pelestariannya sehingga benda bersejarah tersebut tidak akan musnah begitu saja.

Pemerintah juga tidak memungkiri memang telah banyak benda-benda bersejarah yang telah hilang, hal tersebut memang sangat disayangkan. Untuk itu dalam waktu dekat akan dibuat perda tentang BCB untuk melindungi BCB yang masih ada. Untuk mempertahankan kesejukan yang dirasa telah sedikit meninggalkan Salatiga Pemerintah telah mengupayakan penghijauan diberbagai wilayah agar kesejukan Kota Salatiga dapat terwujud kembali.


Mungkinkah sebuah kota kehilangan statusnya sebagai sebuah kota pusaka?

Hal tersebut mungkin saja terjadi, apabila sebuah kota telah kehilangan pusaka yang dimiliki maka otomatis sudah tidak layak untuk disebut sebagai kota pusaka.

Jika kondisi tersebut terjadi tentunya merupakan keadaan yang sangat memprihatinkan, karena hilangnya status sebagai kota pusaka menunjukkan ketidaakmampuan kota yang bersangkutan dalam menjaga pusaka yang dimiliki. Sekaligus menjadi bukti tidak adanya itikad dari pemerintah yang bersangkutan untuk mempertahankan aset dan warisan budaya leluhurnya.


Apa upaya yang dilakukan untuk mempertahankan predikat kota pusaka ini?

Dalam hal ini manajemen resiko bencana merupakan salah satu upaya untuk melestarikan pusaka, menyelamatkan pusaka dan meningkatkan kondisi pusaka agar dapat bertahan untuk waktu yang lebih panjang. Prinsip-prinsip manajemen resiko bencana akan diterapkan dalam upaya mempertahankan pusaka Salatiga. Prinsip – prinsip tersebut meliputi perencanaan, kesiapsiagaan, dokumentasi yang jelas, program pemeliharaan, keterlibatan masyarakat dan prioritas tindakan. Selain itu mencegah kerusakan, memelihara merupakan gaya hidup yang dapat dilakukan oleh siapa saja, tua muda bahkan anak-anak sekalipun.

Sehingga diharapkan masyarakat dapat berperan lebih aktif dalam melestarikan pusaka Salatiga. Selain itu sekolah merupakan media penting untuk sejak dini mengenalkan, memahami keragaman, makna dan fungsi pusaka dalam kehidupan. Melalui pendidikan diharapkan generasi mendatang akan lebih mengenal, menyayangi, melestarikan dan bertanggung jawab untuk mewariskan pusaka kepada generasi berikutnya. Pemerintah Kota Salatiga sendiri dalam waktu dekat akan menerbitkan Perda yang mengatur tentang pelestarian dan pengelolaan pusaka yang dimiliki Kota Salatiga.


Apa saja yang berpotensi menjadi kendala dalam mempertahankan Kota Salatiga sebagai kota pusaka?

Terkait dengan pelestarian BCB yang ada Pemerintah Kota Salatiga belum mampu memberikan pendanaan untuk pemeliharaan BCB yang ada di Salatiga kecuali BCB yang saat ini telah menjadi milik pemerintah kurang lebih sejumlah 12 bangunan tua termasuk didalamnya bangunan sekolah.

Sedangkan untuk BCB yang menjadi milik masyarakat pemerintah mengatur agar pembangunan yang mungkin dilakukan tidak merusak dari BCB yang ada. UU no 5 tahun 1992 telah mengatur keberadaan BCB ini dan disisi lain sebagai warga negara yang baik sudah seharusnya masyarakat mentaati undang-undang yang masih berlaku tersebut.


Apa harapan dari pemerintah dengan dijadikannya Salatiga sebagai kota pusaka?

Dengan masuknya Kota Salatiga sebagai salah satu kota pusaka maka hal tersebut dapat mempertahankan sejarah dari Kota Salatiga, sebagaimana telah diketahui bahwa sejarah menunjukkan bahwa Kota Salatiga memiliki peran yang sangat penting dari waktu ke waktu.

Dengan menyadari bahwa kota ini merupakan sebuah kota penting menjadikan motivasi bagi pemerintah dan masyarakat untuk mencintai, memelihara, melestarikan serta membangunnya sehingga dapat mengarah kepada tercapainya keindahan, kenyamanan dan layak menjadi sebuah kota yang dapat dibanggakan.

Meskipun beberapa BCB telah hilang namun dalam upaya melestarikan pusaka Kota Salatiga tidak mengenal istilah terlambat, masih banyak tonggak-tonggak sejarah yang harus diselamatkan dan diuri-uri. Nantinya setelah BCB yang ada diidentifikasi akan dipasang pada tiap BCB tersebut semacam papan informasi yang memberikan penjelasan mengenai sejarah dari BCB tersebut mulai dari pembangunannya hingga saat terakhir kondisi BCB tersebut.

Namun selain dari itu, yang paling utama pemerintah sangat mengharapkan dukungan dari semua pihak agar pusaka Kota Salatiga tercinta dapat dipertahankan dan dilestarikan sehingga dapat dinikmati pula oleh generasi penerus selanjutnya.(HB_9)

 
template : HB  |    by : boedy's