Laporan Utama : Perjalanan Sejarah Perdikan Salatiga
|
Salatiga harus merasa beruntung karena memiliki banyak sekali peninggalan kuno yang dapat dipergunakan merunut perjalanan sejarah daerah-daerahnya, Peninggalan-peninggalan kuno beraneka ragam bentuknya dan sebagian besar masih dapat dijumpai di Kota Salatiga dan sekitamya, meskipun tidak lengkap/ rusak bahkan hilang. Bentuk peninggalan-peninggalan kuno yang diketemukan di Salatiga ada yang berupa prasasti, monumen, patung, candi, artefak dan bangunan kuno. Hasil penelahan secara analistis/ teoritis dapat diketahui sejarah perjalanan panjang daerah tersebut.
Berdasarkan tinjauan Drs. Slamet Rahardjo, pada pertengahan abad ke 17 daerah perdikan Salatiga muncul dalam berita perjalanan utusan VOC ke Mataram Kartosuro yang bernama Van Goens. Berita tersebut kemudian diikuti route perjalanan Kapten Francois Tack pada tanggal 4 Februari 1686 yang harus lewat menyisiri Rawapening, Banyu Putih, Tingkir agar sampai ke Mataram Kartosuro untuk melaksanakan tugas memadamkan pemberontakan Untung Suropati (De Graaf 1989:54-55). Sedangkan perjalanan sejarah perdikan Salatiga sejak diresmikan dan hampir 900 tahun tidak terdeteksi kegiatan dan perkembangannya.
Timbul pertanyaan dalam hati kita : "Kegiatan-kegiatan apakah yang dilakukan oleh daerah perdikan Salatiga selama itu?" Sesuai dengan tugas dan fungsi sebuah perdikan yang dibebaskan dari segala tanggung jawab terhadap pusat pemerintahan di Mataram Hindu, maka pengaturan kehidupan ditentukan oleh masyarakat setempat yang meliputi Bidang Politik Pemerintahan, Ekonomi, maupun Sosial Budaya.
Bidang Politik Pemerintahan Pusat pemerintahan perdikan dipimpin oleh Kepala Desa yang disebut Tuha wanua. Pejabat tuhawanua biasanya dipilih dari warga tertua yang dihormati. Dalam menjalankan tugas sehari-hari seorang tuhawanua dibantu oleh beberapa orang Rama Magnan yang mempunyai hak untuk mengeluarkan perintah kegiatan masyarakat. Dalam prasasti-prasasti yang diketemukan semasa pemerintahan Rakai Kayuwangi dan Rakai Watukura disebutkan bahwa tiap-tiap daerah pemerintahan terdapat kurang lebih 30 (tigapuluh) orang jabatan Rama Magnan.
Lebih lanjut diutarakan bahwa setiap Rama Magnan di suatu desa dibantu oleh kelompok-kelompok masyarakat yang terdiri dari Kelompok Rainanta, yang terdiri dari orang tua dan ibu-ibu; Kelompok Kara dan Wereh-wereh, yang terdiri muda-mudi; dan kelompok Wadwa Rarai yaitu kelompok anak-anak. (Prof. DR. Edi Sedyawati 1993:28-30)
Bidang Ekonomi Prasasti-prasasti kuno selalu berisi tentang pendirian bangunan suci dan penetapan suatu daerah sebagai simbul perdikan, dan keduanya selalu dikaitkan dengan kehidupan keagamaan. Namun sesungguhnya kedua isi prasasti tersebut di atas juga sekaligus mencerminkan orientasi ekonomi. Wilayah Jawa Tengah sejak abad ke 7 hingga pertengahan abad ke 10 ditandai oleh aktivitas yang luar biasa dalam pembangunan monumen-monumen keagamaan baik yang bersifat Hindu maupun Buddha. Pembangunan monumen keagamaan di atas dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok (Soekmono 1979:475-8).
Pembangunan sejumlah besar arsitektur monumental dalam waktu relatif singkat di daerah tersebut tentu membutuhkan tenaga kerja yang luar biasa banyak serta biaya tinggi. Waktu pembuatanpun relatif lama, sehingga tugas penggarapan sawah tertinggalkan. Kehidupan masyarakat pertanda tidak mungkin mendukung untuk pembangunan monumen-monumen raksasa, sehingga sangat memungkinkan usaha-usaha mencari daerah baru di sebelah timur garis UMM karena kehancuran ekonomi, selain bencana alam. "The final conclusion, then, is that central Javanese royalculture was destroyed by its own temples " (Schrieke 1957:301).
Pejabat-pejabat pemerintahan perdikanpun dipusatkan pada kehidupan keagamaan, sedangkan ekonomi dilakukan oleh masyarakat bawah/ kelompok tani. Lebih-lebih perdikan Salatiga tidak terletak di pantai, sehingga perdagangan dan pelayaran sulit untuk dilakukan.
Berita Negarakertagama secara implisit menggambarkan bahwa kelompok pedagang asing tidak diperkenankan untuk tinggal di pusat kerajaan/ pemerintahan tetapi harus di luar dan terutama di daerah pelabuhan, sehingga sistem barter sulit dilakukan pedagang lokal (Pigeud 1960, naskah 198).
Bidang Sosial Budaya Bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa penguasa Mataram Hindu berasal dari eksodan-eksodan dari Hindia karena terjadi penyerangan bangsa Aria. Tidak mustahil bila terbukti hampir sebagian besar peninggalan-peninggalan arkeologis di Jawa Tengah dipengaruhi oleh budaya Amarawati India Selatan dan budaya Gandhara India Utara. Budaya bawaan dari Hindia di atas mendominasi pola kehidupan sosial budaya masyarakat perdikan Salatiga, yang meliputi keagamaan dan pendidikan.
Sesuai amanat penentuan misi perdikan Salatiga demi perkembangan kehidupan keagamaan, maka tidak mengherankan bila rekam jejak kehidupan masyarakat perdikan dipusatkan untuk keperluan tersebut. Di wilayah perdikan banyak diketemukan berbagai bentuk peninggalan kuno, diantaranya: Bangunan Lingga-Yoni; Sistem pemujaan terhadap dewa dalam agama Hindu dapat berupa candi, patung, dewa, patung kendaraan, artefak ataupun bangunan yang disebut Lingga-Yoni. Pemujaan terhadap Lingga-Yoni sebagai bentuk lain pemujaan terhadap Dewa Siwa/ lambang kesuburan. Lingga-Yoni merupakan lambang kesatuan antara purusa dan paerity. Dan perlu untuk diketahui bahwa istilah purusa berarti : wong lanang/ pelanangan, kuwasa, kekendelan. Sedangkan paerity bermakna : wong wadon, nrima/ lembah manah. Sangat disayangkan bahwa bangunan kuno yang diketemukan telah kehilangan lingga dan tinggal yoni/ lumpang batu. Hilangnya lingga dapat dimaknai bahwa kita telah kehilangan kejantanan/ keberanian/ selalu ragu-ragu. Dan salah satu yoni yang diketemukan di perdikan Salatiga adalah tidak berbentuk lumpang batu tetapi berbentuk bunga padma/teratai. Pada hal bunga teratai merupakan simbol agama Buddha. (S. Prawiroatmodjo, 1987:398).
Patung Andhini; Patung Andhini / lembu jantan merupakan wahana/ kendaraan Dewa Ciwa. Pemujaan terhadap Andhini sebagai bentuk lain pemujaan terhadap Dewa Ciwa. Candhi; Di wilayah perdikan Salatiga sebelah timur UMM, masih diketemukan 2 (dua) buah bangunan candi, yaitu: Candi Ngempon dan Petirtaan Bergas Karangjati serta Candi Lumpang di sebelah timur Klero Tengaran. Bahkan ada dugaan bila masih banyak candi yang belum diketemukan atau telah rusak. Hal ini bisa terjadi bila dihubungkan dengan keberadaan tempat/ desa yang bernama Kemiri Candi, Candi Gesi, Candhen,
Artefak Kaki Bima; Imaginasi masyarakat umum membayangkan bahwa Sang Bima/ Werkudara memiliki tapak kaki besar. Pada hal peninggalan kuno yang berbentuk artefak kaki merupakan penyembahan kepada Dewa Wisnu/ Penyelamat dunia. Tahun 1961 penulis masih menemukan 3 (tiga) buah artefak kaki Bina di pemandian Kalitaman, Gundhuk Bugel dan di desa Randhu Acir Kecamatan Argomulyo. Namun dari ke tiga artefak tersebut tinggal sebuah yang berada di Randu Acir, sedangkan sisanya sudah dihancurkan demi pembangunan.
Artefak Kaki Bima yang di Randu Acir sudah ditimbun tanah dan dijadikan sawah. Alasan yang dipakai karena dipergunakan oleh pecandu buntutan dari berbagai daerah untuk mendapatkan nomor jitu. Patung Hamsa/Angsa; Dalam mitologi agama Hindu, patung Angsa merupakan ganti persembahan kepada Dewa Brahma. Patung ini sampai tahun 1975 masih terletak di sebelah barat SPG Kristen Ledok Tegalrejo.
Prasasti Tajuk Getasan Kopeng; Prasasti ini diketemukan oleh Ki Adi Samidil Mantan Kasi Kebudayaan Salatiga, Bp. Tri Purnoto / seniman dibantu oleh Bpk. Gunadi Lurah Cebongan Tingkir almarhum pada tahun 1976. Benda-benda lain kecuali prasasti adalah daun lontar dan patung kelamin pria dan wanita sebagai lambang kesuburan. Patung ini merupakan patung vulgar dari Lingga-Yoni. (Bandingkan dengan bentuk di Candhi Sukuh Kabupaten Karanganyar).
Berdasarkan pembacaan yang dilakukan oleh Prof. DR. Buchari prasasti menunjukkan dibuat abad ke 9. Sedangkan isinya tentang kehidupan masyarakat Hindu. Benda-benda ini pernah dipamerkan pada Dies Natalis UKSW tahun 1977. Benda-benda penting tersebut sudah diamankan oleh BP3 Pusat di Jakarta. Peninggalan di atas di samping sebagai sarana peribadatan, ternyata memiliki nilai seni yang tinggi. Ketelitian proporsi bentuk, kerumitan dan keindahan bangunan tidak mungkin dikerjakan secara sembarangan. Seniman yang ditugasi pasti paham/ menguasai kaidah-kaidah benda yang dibangun/ dikerjakan dan memiliki sense of art tinggi. Keahlian membuat patung dan Bong Cina di Blotongan Salatiga kemungkinan memiliki bakat keturunan dari seniman patung/ pembuat candi jaman dahulu.(Drs. Slamet Rahardjo) |
Selasa, 20 Juli 2010
Laporan Utama II : VOL. 04/03/2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar