Laporan Utama : Salatiga Ditetapkan Sebagai Daerah Otonom
|
Perkem-bangan keraja-an Mataram Hindu yang berpusat di Medang ri Poh Pitu menimbulkan keprihatinan raja Sanjaya. Di samping perkem-bangan kehidupan spiritual pemeluk agama Hindu dan Budha yang menggembirakan, masalah bencana alam yang selalu ditimbulkan oleh gunung-gunung berapi akhirnya dibetulkan "team pencari daerah baru" yang bebas bencana.
Team ini dipimpin oleh salah satu putra raja yang berkedudukan sebagai Rakryan Mahamantri I Halu dibantu oleh beberapa pejabat tingkat pusat yang membidangi pemerintahan, upapatti (pejabat yang memimpin upacara penetapan simal wilayah, ahli sastra, pertahanan, pertanian, rsi/ tokoh agama dan seniman pembuat candi.
Sasaran wilayah yang dituju adalah sebelah timur garis UMM (Gunung Ungaran, Gunung. Merbabu, dan Gunung. Merapi). Team peneliti akhirnya memutuskan bahwa wilayah tersebut tidak memenuhi syarat bila dijadikan pusat pemerintahan/ kraton, dengan alasan tanah berbukit kurang cocok untuk pertanian, tidak ada sungai besar sehingga kurang menguntungkan pertahanan. Dan akhirnya team memutuskan wilayah tersebut sangat cocok untuk kepentingan agama. Dalam prasasti Plumpungan wilayah sebelah timur UMM disahkan sebagai sebuah perdikan disebut "hampragraman trigramya mahitam.*
Prof. DR. Raden Ngabehi Poerbotjaroko (ahli Bahasa Jawa Kuno) menjelaskan bahwa kata: 1. hampra merupakan daerah yang banyak ditumbuhi pohon bamboo; 2. trigramya = trigostya = trisaba = /rif a/a. Sesuai dengan kaidah tatabahasa
Sedangkan masalah pendidikan khususnya di Kota Salatiga, mulai dari zaman Pro Hindu/Budha dan zaman Hindu//Budha memiliki tahapan-tahapan khusus. Pada zaman Pro Hindu/Budha; Sebelum masuknya budaya Hindu-Budha ke
Zaman Hindu–Budha; Berdasarkan penemuan-penemuan situs kepurbakalaan yang tersebar di beberapa wilayah khususnya di Jawa Tengah menunjukkan bahwa kedudukan dukun dan undhagi telah digeser oleh peran seorang brahmana. Dalam naskah Kitab Sarasamuccaya 61:4 tertulis kalimat "ri sedeng nira n brahmacari, gurukulawesi kinenan sira diksabrata sangskarta" (Ketika ia sedang menjadi murid/ brahmacari, tinggal di rumah guru/ kulawesi, mereka disebut cantrik/diksabrata sangskarta). Murid/ brahmacari tinggal bersama guru di suatu asrama/ pertapaan. Kegiatan belajar mengajar tidak terbatas waktunya. Murid/ cantrik selain berkewajiban belajar, ia harus membantu gurunya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Selama mengikuti pendidikan/ nyantrik di pertapaan seorang murid/ sisya wajib memahami 2 (dua) macam aturan, yaitu: a) Siksa sisyakrama, yaitu berisi tentang aturan bagaimana tingkah laku seorang murid/ sisya; b) Gurususrusa, yaitu mengatur tentang bagaimana seharusnya berbakti kepada guru.
Sedangkan tugas seorang guru/ brahmana meliputi berbagai tugas dan kewajiban, antara lain: : a) Mangajya, yaitu memberi pelajaran berbagai Umum pengetahuan; b) Mayadjna, yaitu membimbing siswa/ sisya tentang peraturan membuat persajian dalam upacara tertentu; c) Mawehadana punya pengetahuan tentang pemberian sedekah, air kehidupan/ amrta, serta amaraha/menegur.
Ketiga mata pelajaran tersebut diatas dilakukan oleh guru beserta pembantu-pembantunya. "Sang brahmacarin, sang bhujangga siswa sogata, sakweh sang angulah l.ts kapandiditan (Kitab Slokantara 14:15).". Jaman Hindu-Budha pendidikan hanya mengenal 4 (empat) tingkatan yaitu : a) Tahapan Brahmacari, nyantrik di pertapaan; b) Tahapan grhastha, pendidikan ke rumah-tanggaan; c) Tahapan wanaprastha, pendidikan untuk hidup menyendiri di hutan; d) Tahapan Bhiksuka, melatih mensucikan diri dan menjauhkan dari kehidupan duniawi.
Jaman Hindu-Budha sarana prasarana dan kurikulum pendidikan di perdikan digambarkan dalam Kitab Sutasoma karya Empu Tantular Tak Tertandingi 4:19 sebagai berikut: Tahapan nyantrik; Tempat berlangsungnya proses pendidikan/ belajar mengajar disebut dengan istilah widyagocaraateupatapan. Widyagocara ini dikelilingi dengan berbagai pepohonan, berpagar, memiliki gapura serta terdapat pohon beringin yang rindah yang dipergunakan sebagai . tempat cantrik/ brahmacari/ sisya bermain. Patapan/ widyagora juga dilengkapi dengan berbagai bangunan yang disebut patani jamurl berbentuk jamur yang dipergunakan untuk belajar menari dan membaca kidung.
Tahapan grhastha; Dalam bab 38:15, proses belajar mengajar tahapan pendidikan grhastha disebut dengan istilah hadewaguryan yaitu suatu tempat yang terletak di kaki gunung, jauh terpencil di tengah hutan dan dihuni oleh keluarga dwija dan wanita-wanita suci. Lebih lanjut digambarkan bahwa kadewagurwan biasanya dekat dengan sungai besar, memiliki gapura yang menjulang tinggi, berwarna putih bersih dan temboknya dibuat dari tanah berbentuk lingkaran. Kadewagurwan selalu ditumbuhi oleh pohon tanjung, cempaka, bana dan nagakusuma yang selalu mengeluarkan bau harum.
Tahapan wanaprastha; Dalam kitab Negarakertagama karya Empu Prapanca (32:2a) dijelaskan secararinci tentang tempat berlangsungnya proses belajar mengajar untuk tingkatan wanaprastha. Tempat ini dipergunakan oleh para brahmana untuk melatih olah batin sekaligus dipergunakan sebagai tempat tinggal seorang rsi. Wanasrama dipimpin oleh dewaguru yang disebut siddhapandita/ yang disebut sang muniswaral sang mahrsi. Digambarkan lebih lanjut bahwa wanasrama biasanya terletak di tengah hutan lebat dan di tepi jurang yang dalam. Sedangkan bagi murid diatur berdasarkan tingkat kemampuan dan jenis kelamin. Tempat wanasrama diatur secara bertingkat dengan tempat paling tinggi dipergunakan sebagai tempat tinggal sang maharsi/ dewaguru.
Bagian di bawahnya ditempati oleh kelompok pendeta laki-laki yang diatur sesuai dengan tingkat kemampuan, yaitu tingkat manguyu, tapaswi, dan kaki. Pendeta-pendeta perempuan dipisahkan antara kelompok ubwan, topi dan endang. Materi kurikulum yang diberikan oleh sang maharsi antara lain tentang kebenaran/ yathabhuta, tingkah laku/ siksa sisyakrama, nilai-nilai kebajikan/astitisilakrama. Bakti kepada guru/ guru susrusa, helakuan terpuji/ susilasthiti serta, pelajaran memahami kesusastraan/ wruh ing kawi. Tahapan bhiksuka; Pendidikan tingkat bhiksuka ini hanya diperuntukkan bagi lulusan tingkat wanaprastha yang berani meninggalkan keluarga dan keduniawian, hidup menyendiri di tengah hutan.
Demikianlah tinjauan Drs. Slamet Rahardjo yang menunjukkan kepada kita bahwa semasa berstatus Perdikan hampragraman trigramya, kehidupan masyarakat telah mengenal pendidikan dengan baik, teratur, terstruktur, toleransi serta terarah. Tujuan kehidupan masyarakat dalam pembangunan di segala bidang diarahkan dengan sesanthi yang ditinggalkan, yaitu: "Crir astu, swasti prajabbyah" Semoga bahagia, selamatlah rakyat sekalian.(Drs. Slamet Rahardjo) |
Selasa, 20 Juli 2010
Laporan Utama I: VOL. 04/03/2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar