SELAMAT HARI JADI SALATIGA KE-1260 "ÇRÎR=ASTU SWASTI PRAJÂBHYAH"

Senin, 26 Juli 2010

OPINI : VOL. 04/03/2010

Menjadi Kota Residensial Tanpa Menghapus Kenangan Tempoe Doeloe

Bulan Juli ini Kota Salatiga memasuki usia ke-1.260 tahun. Dibandingkan dengan kota-kota lainnya di Indonesia, boleh dikatakan Salatiga masuk dalam jajaran kota tertua dan sangat uzur. Penetapan Salatiga berdiri pada 1.260 tahun lalu tersebut, berdasarkan hasil penelitian sejumlah pakar sejarah, yang kemudian ditetapkan berdasarkan surat keputusan Walikota.

Muncul pertanyaan dalam benak kita, apakah dalam usia tersebut perkembangan kota telah memasuki tahap modern dibandingkan dengan kota-kota lainnya? Lalu apakah perkembangan dinamika kehidupan bermasyarakat dan pembangunan yang telah dilaksanakan dalam usia uzur itu, telah memberikan kesejahtaraan bagi warganya? Serta pertanyaan-pertayaan lainnya, yang berkaitan dengan kesejahteraan warga kota.

Memulai tulisan ini, saya langsung teringat ketika berdiskusi dengan seorang teman yang juga senior, beberapa waktu lalu. Tergambar Salatiga ke depan, tidak akan beda dengan kota-kota di sekitar Jakarta, seperti Tangerang, Bekasi, Bogor, dan lainnya. Kota Salatiga dan wilayah sekitarnya akan menjadi kota residensial. Ya, sebagai kota tempat tinggal, di mana masyarakatnya bekerja dan berusaha di Kota Semarang atau Solo. Dengan akses jalur tol yang akan melintas di Salatiga, maka perjalanan Salatiga-Semarang-Solo tidak akan lebih dari 30 menit. Berbeda dengan prediksi orang sebelumnya, bahwa Salatiga akan menjadi kota mati akibat jalan tol. Kendaraan yang biasa lewat di kota itu beralih lewat jalan tol.

Sebagai kota residensial, daerah ini akan dipenuhi komplek pemukiman penduduk. Namun jangan kaget, dengan konsep tersebut justru akan menumbuhkan perekonomian. Karena pemerintah dan masyarakat harus memenuhi kebutuhan warga residensial itu. Kebutuhan itu seperti pasar, pusat perbelanjaan, rumah makan, pusat kuliner rakyat, sarana hiburan, pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi), kesehatan (rumah sakit), fasilitas publik, dan fasilitas lainnya. Itu sejalan bila melihat kondisi Salatiga yang tidak lagi memiliki sumber daya alam, yang dapat dijual. Sehingga hanya dapat berkembang dengan logika bisnis, yakni penyediaan perdagangan dan jasa.

Residensial, memberikan kesempatan siapa saja menciptakan dan mengembangkan semua kebutuhan masyarakat itu. Tentunya para kreator itu, tidak harus pemodal besar, masyarakat bermodal kecil pun, tetap dapat memulainya. Mereka dapat menciptakan pusat-pusat jajanan tradisional, hiburan bagi masyarakat residensial, dan kreasi lainnya yang menguntungkan. Jangan khawatir enting-enting gepuk, wedang ronde, keripik paru, getuk ketek dan getuk lainnya, serta jajanan khas lainnya, tetap akan diburu.

Itulah potensi ekonomi yang mungkin dapat dikembangkan. Apabila dikelola dengan baik, akan menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD). PAD itu harus dikelola dengan baik, sebagai sarana menghidupkan perekonomian lainnya. Apakah konsep residensial itu dapat diterima atau tidak? Jangan kaget, bila nantinya konsep ini dipakai para investor untuk memulai bisnisnya. Wilayah kabupaten tetangga, terlihat sudah memulainya.

Kenangan Lalu
Terkait perkembangan dan pembangunan di Kota Salatiga, tidak tepat rasanya bila kita menilai kota ini berdasarkan catatan kekurangan dan kelebihan diri sendiri (warga kota). Alangkah bijaknya bila orang luar yang menilai, atau setidaknya orang Salatiga yang kini tidak lagi tinggal di kota ini, tetapi masih kerap pulang kampung mengenang masa lalu.

Pertengahan Mei 2010 lalu, penulis menjumpai keluarga besar Roy Marthen, yang mudik pulang kampung melakukan pertemuan keluarga. Roy bersama tiga saudaranya Chris Salam, Eric, dan Rony, berdiskusi tidak lepas dari perkembangan Kota Salatiga saat ini. Mereka mengaku benar-benar merasakan perubahan Salatiga dalam beberapa kurun waktu ini.

Roy mengungkapkan perubahan yang terlihat nyata adalah penerapan jalur searah Jalan Jenderal Sudirman. Diakuinya itu merupakan penataan yang sangat baik. Tetapi dia memberikan masukan soal perubahaan tata parkir dan penataan PKL, agar lebih indah. Serta jalan yang dibuat lebih mulus lagi.

Chris justru mengungkapkan, pembangunan tidak hanya fisiknya saja, namun juga dilihat kondisi psikis masyarakat. Apakah hidup masyarakat sekarang lebih enak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya? Rakyat punya pekerjaan atau tidak? Mereka dapat hidup layak atau tidak? Menurutnya, pemerintah harus melihat beberapa sisi, salah satunya sisi kehidupan riil masyarakat itu. Siapa saja pemimpin atau Wali Kota Kota Salatiga harus mampu melihat langsung kondisi riil kehidupan dasar rakyatnya.

Bila kebutuhan dasar masyarakat dipenuhi, maka sudah pasti taraf hidup akan meningkat. Chris mengibaratkan percuma pembangunan dilakukan muluk-muluk, sementara pembangunan moril rakyat tidak dipikirkan. Terlontar ucapan dari pengacara itu, percuma membangun mal dan pasar yang besar, tetapi tidak ada masyarakat yang berbelanja, karena tidak punya pekerjaan dan uang.

Terlepas, permasalahan itu, terungkap banyak warga Salatiga di perantauan yang rindu dengan Salatiga tempoe doeloe yang diibaratkan Paris van Java. Salatiga dikenang karena memiliki bangunan tua peninggalan Belanda. Hawa kota yang terkenal sejuk, pohon-pohon yang rindang, berbagai pilihan kuliner (jajanan) yang memanjakan lidah, serta kenangan-kenangan lainnya.

Pembangunan tidak harus berarti menghilangkan kesan-kesan ciri khas Salatiga kota kuno yang indah. Kita dapat mencontoh pembangunan yang terjadi di beberapa kota yang memiliki ciri tidak berbeda dengan Salatiga, seperti Kota Bandung atau Kota Magelang. Orang datang dan ingin berkunjung ke tempat itu, karena ada daya tarik kenangan lalu yang ingin dinikmati kembali. (-)

*)Penulis adalah Wartawan Harian
Suara Merdeka bertugas di Kota Salatiga
dan sekitarnya.

Tidak ada komentar:

 
template : HB  |    by : boedy's